Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Sastra

Dialog

 "Apa kau melihatnya?" "Apa?" "Mata itu. Binarnya memudar. Aku tak lagi bisa melihat titik bahagia di sana. Cerianya menghilang."  "Bagaimana mungkin?" "Tidak ada yang tidak mungkin. Seiring bertambahnya waktu, dunia turut semakin kejam memperlakukannya." "Tapi, dia masih bertahan." "Ya. Masih ada tanggung jawab yang harus dia pikul." "Dia tersenyum dan tertawa seperti biasa." "Tidak. Senyum dan tawanya tak pernah lagi mencapai manik cokelat tuanya. Dia tak benar-benar bahagia pun tak benar-benar bersedih." "Lantas kenapa harus tertawa seperti itu kalau dirasa tak ingin?" "Mungkin baginya bahagia mereka sudah seperti bahagianya." "Kenapa seperti itu? Bahagia tak melulu soal orang lain, tapi apa yang sedang kita rasa." Aku tertawa sinis mendengarnya. "Kata-kata itu hanya berlaku untuk orang yang mencintai dirinya sendiri sepertimu. Berbeda dengannya yang tak perna

Perihal Melepaskan Yang Tak Pernah Menjadi Mudah

The sunset is beautiful, isn't it? Sepertinya tak berlaku bagiku.  Kalimat itu sendiri mengindikasikan bahwa orang tersebut sudah merelakan hal yang selama ini mereka genggam dengan sangat-sangat erat hingga mereka menyadari bahwa mau sekeras apa pun usaha mereka untuk membuatnya tetap bertahan, yang namanya butiran pasir tak akan pernah bisa benar-benar tergenggam sempurna . Ia akan meluruh sedikit demi sedikit melalui celah-celah jemari yang menegang kuat. Dan, kita baru akan menyadari bahwa yang kita genggam selama ini hanyalah udara kosong saat ia sudah terlepas sepenuhnya. Kata merelakan itu sendiri sudah bukan lagi hal asing dalam hidup. Kehadirannya pun tak pernah benar-benar semu. Ia selalu ada. Kapan pun. Di mana pun. Meski begitu, kita seolah dibuat tak tahu apa-apa, entah memang benar-benar tak tahu atau itu hanya sekedar tabir penghalang yang diciptakan oleh pusat pengontrol tubuh sebagai langkah awal penyangkalan dari keberadaannya. Bagiku, merelakan sudah bukan lagi