Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Cerpen

00: Selamat Tinggal, Langit

     “Dia sudah membuangmu! Kenapa kamu terus setia padanya? Kenapa kamu selalu melakukan hal bodoh?” seru seorang wanita begitu panggilan teleponnya tersambung.      Seorang wanita muda yang usianya kini sudah mencapai kepala dua itu termenung sesaat. Sebelah tangannya masih setia bertengger di sisi telinganya menyangga benda persegi tipis yang sedang mengeluarkan suara seseorang dari seberang sana.      “Karena aku mirip Ibu,” jawab wanita muda itu. Kedua netranya tampak seolah sedang diselimuti kilauan kristal bening.      Dari seberang sana, wanita yang menjadi lawan bicaranya itu terdengar terkejut sekaligus tak terima. “Apa?”      Wanita muda yang bergelar sebagai seorang anak bagi ibunya itu seolah tak terusik. Dia tak merasa apa yang sedang dilakukannya merupakan sebuah kesalahan. Toh , semua yang dia katakan adalah kebenaran yang selama ini dicapai kedua netranya tanpa ada yang mencoba untuk memberikannya penjelasan. Sekedar kalimat penenang bagi hati mungil seorang anak yang

Be The First Person To love Me

Bab 1 “Jadilah manusia pertama yang mencintaiku,” ucapnya kala itu yang tak kutanggapi dengan serius. Bukan apa-apa. Hanya saja, saat itu aku tidak merasakan sebuah keseriusan dalam perkataannya. Dia seolah sedang berucap begitu saja. Seperti bukan sesuatu yang besar. Jadi, rasanya akan sia-sia saja jika kutanggapi dengan serius. Aku menoleh ke arahnya. “Hah?” Dia yang sedang menatap jauh ke depan itu lantas ikut menoleh ke arahku. Bibirnya yang semula hanya segaris lurus kini sudah mengulas lengkungan manis khasnya. “Cobalah untuk mencintaiku,” ulangnya dengan kalimat yang berbeda. Meski begitu, aku tetap paham maksudnya. Dengan identitasnya saja, dia bukan sosok yang akan dicintai oleh para manusia yang ditemuinya. Justru mereka dengan sukarela menjauh, melarikan diri, juga jika ada tempat yang mungkin bisa dijadikan tempat persembunyian di muka bumi ini, mereka akan bersembunyi sebaik mungkin. “Untuk alasan apa aku mencintaimu?” tanyaku dengan beberapa gurat lipatan menghiasi kening

Catastrophe

  Prolog Suatu hari, Kehancuran datang mengetuk pintu depan rumahku. “Halo,” sapa seorang lelaki yang berpakaian serba hitam dengan kepala menyembul dari balik pintu yang kubuka sedikit. Aku menatapnya heran sembari membuka suara, “Kamu siapa?” Lelaki itu melangkah selangkah lebih dekat dan berdiri dengan jelas di hadapanku. Dia mengulas senyum yang terlihat lumayan manis di mataku. “Kehancuran,” jawabnya yang masih mengukir senyum sembari menatapku dalam. Dunia seolah berhenti saat itu juga, hanya Kehancuran dan aku yang bisa bergerak. Kehancuran yang berdiri di seberang perlahan berjalan ke arahku seolah-olah dia sedang berjalan-jalan. Sementara aku menatapnya seolah-olah telah tersihir. Aku terjatuh dan dia mengulurkan tangannya. “Pilihlah,” ucapnya. “Kamu akan mati di sini sekarang atau kamu akan menerima uluran tanganku.” Aku hanya duduk di sana dan menatap matanya. Mata yang tajam, tetapi terkesan tanpa emosi. Apa tanganmu ini adalah jawaban yang sudah lama k

A Letter For Sister

Hai, Sister... Gimana nih kabarnya? Udah lama banget nggak sih kita LDR-an. Bahasanya LDR-an, macam kamu dengan dia aja, hahaha.... Selamat menjalani fase di mana kamu nggak akan menemukan orang yang mau membantumu menjalani hidup. Selamat menemui fase di mana kamu nggak lagi bisa menemui siapa pun yang menginginkanmu melainkan hanya untuk meminta bantuan saja. Bukan bermaksud untuk menakut-nakuti, hanya saja memang begitulah kenyataannya. Semakin dewasa, hidup dibuat semakin berwarna-warni oleh banyaknya masalah. Semakin dibuat kacau oleh beban pikiran yang kian hari kian memberat dan carut marut.  Memperbanyak pikiran-pikiran positif dan memotivasi diri sendiri nyatanya tak berlaku sama sekali. Justru semakin lama akan terasa memuakkan bahkan ketika sedang membicarakan persoalan dunia. Tentang hal-hal yang sifatnya sementara. Seolah berniat bertukar pikiran dan beradu argumen, tapi nyatanya bertopengkan niat menyombongkan apa yang dirinya dapatkan. Entahlah. Mungkin untuk sekarang,

Jeda

Hanya ada satu apartemen di setiap lantai sehingga ketika lift sampai di lantai enam dan terbuka, aku langsung dihadapkan pada pintu utama yang bernomor 6049. Pintu dua sisi berwarna hitam itu tertutup rapat. Begitu aku hendak mendekat, suara langkah kaki dari dalam sana membuatku kehilangan keberanian. Aku langsung bersembunyi di lorong darurat sebelah lift. Aku tidak bisa melihat apa yang terjadi di sana, hanya bisa mendengar suara sepatu yang melangkah kemudian pintu terbuka. Aku pikir itu suara langkah kaki satu orang hingga beberapa detik setelahnya aku kembali mendengar suara langkah kaki lainnya. "Reza!" Suara seorang wanita yang memanggil nama Reza dengan lembut. Aku ... terkejut. Reza? Benarkah? Bukankah harusnya dia masih ada di luar kota? Kenapa bisa ada di sana? Bukannya dia bilang lusa baru kembali? "Apakah ada yang lain?" Suara Reza terdengar dingin di telingaku. "Aku akan menepati janjiku. Jangan khawatir. Aku nggak akan muncul lagi di depan Ara.