Langsung ke konten utama

Dialog


 "Apa kau melihatnya?"

"Apa?"

"Mata itu. Binarnya memudar. Aku tak lagi bisa melihat titik bahagia di sana. Cerianya menghilang." 

"Bagaimana mungkin?"

"Tidak ada yang tidak mungkin. Seiring bertambahnya waktu, dunia turut semakin kejam memperlakukannya."

"Tapi, dia masih bertahan."

"Ya. Masih ada tanggung jawab yang harus dia pikul."

"Dia tersenyum dan tertawa seperti biasa."

"Tidak. Senyum dan tawanya tak pernah lagi mencapai manik cokelat tuanya. Dia tak benar-benar bahagia pun tak benar-benar bersedih."

"Lantas kenapa harus tertawa seperti itu kalau dirasa tak ingin?"

"Mungkin baginya bahagia mereka sudah seperti bahagianya."

"Kenapa seperti itu? Bahagia tak melulu soal orang lain, tapi apa yang sedang kita rasa."

Aku tertawa sinis mendengarnya. "Kata-kata itu hanya berlaku untuk orang yang mencintai dirinya sendiri sepertimu. Berbeda dengannya yang tak pernah berhasil untuk mencintai dirinya sendiri. Entah bagaimana, hal yang dirasa baik nyatanya justru menyiksanya. Semua itu sudah terlalu lama dipendam hingga nyaris tak lagi ada tempat kosong di dalam sana. Raungan minta tolong dan rintihan sakit yang tak keluar dari mulutnya justru berpendar melalui matanya."

"Kenapa kamu seolah begitu mengenalnya?"

Aku terkekeh pelan. "Mau tahu satu rahasia? Dia, pemilik mata yang kehilangan pendarnya itu adalah diriku sendiri."

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

00: Selamat Tinggal, Langit

     “Dia sudah membuangmu! Kenapa kamu terus setia padanya? Kenapa kamu selalu melakukan hal bodoh?” seru seorang wanita begitu panggilan teleponnya tersambung.      Seorang wanita muda yang usianya kini sudah mencapai kepala dua itu termenung sesaat. Sebelah tangannya masih setia bertengger di sisi telinganya menyangga benda persegi tipis yang sedang mengeluarkan suara seseorang dari seberang sana.      “Karena aku mirip Ibu,” jawab wanita muda itu. Kedua netranya tampak seolah sedang diselimuti kilauan kristal bening.      Dari seberang sana, wanita yang menjadi lawan bicaranya itu terdengar terkejut sekaligus tak terima. “Apa?”      Wanita muda yang bergelar sebagai seorang anak bagi ibunya itu seolah tak terusik. Dia tak merasa apa yang sedang dilakukannya merupakan sebuah kesalahan. Toh , semua yang dia katakan adalah kebenaran yang selama ini dicapai kedua netranya tanpa ada yang mencoba untuk memberikannya penjelasan. Sekedar kalimat penenang bagi hati mungil seorang anak yang

Serpihan 4

Rasanya mau mati aja. Di titik tertentu, aku juga begitu. Menangis tersedu memunguti kembali puing-puing kehancuran diri sendiri satu per satu. Saat itu, saat aku merenungi betapa sakit, hancur, muak, dan bencinya hatiku atas ketidakberdayaan diriku sendiri, yang bisa kulakukan hanyalah menerima sembari terus berjalan maju. Bahkan seberapa sulit pun sebuah kondisi, aku harus tetap hidup dengan " aku bisa mengatasi ini sendiri ". Sebab, di luar sana, iblis pun tahu. Tidak ada pilihan lagi selain itu.

Serpihan 2

  Rasanya mau mati aja. Kalimat itu sudah seperti mantra yang mencuat dari mulutku tanpa kusadari. Entah itu saat aku sedang tak berdaya atau justru baik-baik saja. Berulang kali, tanpa aku sadari seolah sudah tertanam kuat di alam bawah sadarku bahwa sesungguhnya aku benar-benar mengharapkan kematian itu sendiri. Seolah aku dengan sungguh-sungguh berharap untuk terdampar di titik pemberhentian yang sebenarnya. Sebuah pemberhentian yang nyatanya sulit untuk diraih. Untuk tetap bertahan saja sudah sesulit itu , tetapi ternyata untuk berhenti pun tak kalah menyulitkan . Aku sempat tak habis pikir oleh kesadaran akan satu hal pahit itu. Kita diciptakan sebagai makhluk bumi yang katanya sempurna jika dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Tapi yang menjadi bahan pertanyaanku adalah kalau memang manusia itu makhluk paling sempurna, kenapa manusia menjadi makhluk paling tidak berdaya dika dihadapkan pada kondisi yang tak diharapkan? Kalau memang manusia itu makhluk paling sempurna, k