"Apa kau melihatnya?"
"Apa?"
"Mata itu. Binarnya memudar. Aku tak lagi bisa melihat titik bahagia di sana. Cerianya menghilang."
"Bagaimana mungkin?"
"Tidak ada yang tidak mungkin. Seiring bertambahnya waktu, dunia turut semakin kejam memperlakukannya."
"Tapi, dia masih bertahan."
"Ya. Masih ada tanggung jawab yang harus dia pikul."
"Dia tersenyum dan tertawa seperti biasa."
"Tidak. Senyum dan tawanya tak pernah lagi mencapai manik cokelat tuanya. Dia tak benar-benar bahagia pun tak benar-benar bersedih."
"Lantas kenapa harus tertawa seperti itu kalau dirasa tak ingin?"
"Mungkin baginya bahagia mereka sudah seperti bahagianya."
"Kenapa seperti itu? Bahagia tak melulu soal orang lain, tapi apa yang sedang kita rasa."
Aku tertawa sinis mendengarnya. "Kata-kata itu hanya berlaku untuk orang yang mencintai dirinya sendiri sepertimu. Berbeda dengannya yang tak pernah berhasil untuk mencintai dirinya sendiri. Entah bagaimana, hal yang dirasa baik nyatanya justru menyiksanya. Semua itu sudah terlalu lama dipendam hingga nyaris tak lagi ada tempat kosong di dalam sana. Raungan minta tolong dan rintihan sakit yang tak keluar dari mulutnya justru berpendar melalui matanya."
"Kenapa kamu seolah begitu mengenalnya?"
Aku terkekeh pelan. "Mau tahu satu rahasia? Dia, pemilik mata yang kehilangan pendarnya itu adalah diriku sendiri."
🥹
BalasHapus