Langsung ke konten utama

Perihal Melepaskan Yang Tak Pernah Menjadi Mudah

The sunset is beautiful, isn't it?

Sepertinya tak berlaku bagiku. 

Kalimat itu sendiri mengindikasikan bahwa orang tersebut sudah merelakan hal yang selama ini mereka genggam dengan sangat-sangat erat hingga mereka menyadari bahwa mau sekeras apa pun usaha mereka untuk membuatnya tetap bertahan, yang namanya butiran pasir tak akan pernah bisa benar-benar tergenggam sempurna. Ia akan meluruh sedikit demi sedikit melalui celah-celah jemari yang menegang kuat. Dan, kita baru akan menyadari bahwa yang kita genggam selama ini hanyalah udara kosong saat ia sudah terlepas sepenuhnya.

Kata merelakan itu sendiri sudah bukan lagi hal asing dalam hidup. Kehadirannya pun tak pernah benar-benar semu. Ia selalu ada. Kapan pun. Di mana pun. Meski begitu, kita seolah dibuat tak tahu apa-apa, entah memang benar-benar tak tahu atau itu hanya sekedar tabir penghalang yang diciptakan oleh pusat pengontrol tubuh sebagai langkah awal penyangkalan dari keberadaannya.

Bagiku, merelakan sudah bukan lagi hal yang perlu menjadi titik fokus. Sudah terlalu banyak hal yang harus aku relakan hingga aku sendiri tidak tahu lagi apa yang harus aku relakan kali ini. Sudah ada banyak kesakitan yang aku lalui untuk benar-benar bisa merelakan hingga yang tersisa dari itu semua hanyalah rasa hambar.

Meski begitu, rasa sakit yang seolah sedang dicabik-cabik oleh subjek tak kasat mata itu tak pernah benar-benar tak dirasa. Sakit itu tetap ada. Masih sama. Tak pernah berkurang. Mungkin bertambah intensitas kesakitannya seiring waktu.

Acapkali hal itu berlangsung, diriku seolah bertransformasi menjadi seorang pesakitan yang sedang menunggu diagnosa dokter terkait rentang waktu yang dimiliki untuk menetap di bumi. Seorang terpidana mati yang tak berharap apa-apa selain waktu berlalu dua kali lebih cepat dari sewajarnya. Seolah semakin cepat semakin baik sudah menjadi hal yang wajar dalam pikiranku saat itu. 

Kita tak pernah benar-benar merelakan. Tak pernah. Sekalipun kamu berkoar-koar di depan para makhluk seribu wajah. Kamu bahkan diriku sendiri hanya sedang berusaha dengan memaksa diri untuk melakukannya hingga akhirnya terbiasa seiring berjalannya waktu. Dan, nyatanya memang itu yang terjadi. 

Dan, itu sangat melelahkan. 

Komentar

  1. "Kita tak pernah benar-benar merelakan." That's right. Karena mau selama apa pun itu berlalu, kehilangan itu tetap akan ada jejaknya meski ketika mengingatnya sudah tidak lagi dipenuhi sesak dan air mata.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

00: Selamat Tinggal, Langit

     “Dia sudah membuangmu! Kenapa kamu terus setia padanya? Kenapa kamu selalu melakukan hal bodoh?” seru seorang wanita begitu panggilan teleponnya tersambung.      Seorang wanita muda yang usianya kini sudah mencapai kepala dua itu termenung sesaat. Sebelah tangannya masih setia bertengger di sisi telinganya menyangga benda persegi tipis yang sedang mengeluarkan suara seseorang dari seberang sana.      “Karena aku mirip Ibu,” jawab wanita muda itu. Kedua netranya tampak seolah sedang diselimuti kilauan kristal bening.      Dari seberang sana, wanita yang menjadi lawan bicaranya itu terdengar terkejut sekaligus tak terima. “Apa?”      Wanita muda yang bergelar sebagai seorang anak bagi ibunya itu seolah tak terusik. Dia tak merasa apa yang sedang dilakukannya merupakan sebuah kesalahan. Toh , semua yang dia katakan adalah kebenaran yang selama ini dicapai kedua netranya tanpa ada yang mencoba untuk memberikannya penjelasan. Sekedar kalimat penenang bagi hati mungil seorang anak yang

Serpihan 4

Rasanya mau mati aja. Di titik tertentu, aku juga begitu. Menangis tersedu memunguti kembali puing-puing kehancuran diri sendiri satu per satu. Saat itu, saat aku merenungi betapa sakit, hancur, muak, dan bencinya hatiku atas ketidakberdayaan diriku sendiri, yang bisa kulakukan hanyalah menerima sembari terus berjalan maju. Bahkan seberapa sulit pun sebuah kondisi, aku harus tetap hidup dengan " aku bisa mengatasi ini sendiri ". Sebab, di luar sana, iblis pun tahu. Tidak ada pilihan lagi selain itu.

Serpihan 2

  Rasanya mau mati aja. Kalimat itu sudah seperti mantra yang mencuat dari mulutku tanpa kusadari. Entah itu saat aku sedang tak berdaya atau justru baik-baik saja. Berulang kali, tanpa aku sadari seolah sudah tertanam kuat di alam bawah sadarku bahwa sesungguhnya aku benar-benar mengharapkan kematian itu sendiri. Seolah aku dengan sungguh-sungguh berharap untuk terdampar di titik pemberhentian yang sebenarnya. Sebuah pemberhentian yang nyatanya sulit untuk diraih. Untuk tetap bertahan saja sudah sesulit itu , tetapi ternyata untuk berhenti pun tak kalah menyulitkan . Aku sempat tak habis pikir oleh kesadaran akan satu hal pahit itu. Kita diciptakan sebagai makhluk bumi yang katanya sempurna jika dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Tapi yang menjadi bahan pertanyaanku adalah kalau memang manusia itu makhluk paling sempurna, kenapa manusia menjadi makhluk paling tidak berdaya dika dihadapkan pada kondisi yang tak diharapkan? Kalau memang manusia itu makhluk paling sempurna, k