Langsung ke konten utama

A Letter For Sister


Hai, Sister...

Gimana nih kabarnya? Udah lama banget nggak sih kita LDR-an. Bahasanya LDR-an, macam kamu dengan dia aja, hahaha....

Selamat menjalani fase di mana kamu nggak akan menemukan orang yang mau membantumu menjalani hidup. Selamat menemui fase di mana kamu nggak lagi bisa menemui siapa pun yang menginginkanmu melainkan hanya untuk meminta bantuan saja. Bukan bermaksud untuk menakut-nakuti, hanya saja memang begitulah kenyataannya.

Semakin dewasa, hidup dibuat semakin berwarna-warni oleh banyaknya masalah. Semakin dibuat kacau oleh beban pikiran yang kian hari kian memberat dan carut marut. 

Memperbanyak pikiran-pikiran positif dan memotivasi diri sendiri nyatanya tak berlaku sama sekali. Justru semakin lama akan terasa memuakkan bahkan ketika sedang membicarakan persoalan dunia. Tentang hal-hal yang sifatnya sementara. Seolah berniat bertukar pikiran dan beradu argumen, tapi nyatanya bertopengkan niat menyombongkan apa yang dirinya dapatkan.

Entahlah. Mungkin untuk sekarang, harus banyak belajar menerima bahwa ada banyak hal yang harus dikorbankan dan direlakan. Akan ada banyak kehilangan. Banyak rentetan peristiwa yang memaksa sehingga banyak pula yang harus dijalani dengan terpaksa. Menjadi manusia itu, kamu akan dibuat semakin paham bahwa hidup ini sangat-sangat melelahkan. 

Semakin ke sini, kamu akan menyadari bahwa yang menjadi bahan pembicaraan adalah diri sendiri. Diri sendiri yang seolah kehilangan cahayanya. Tentang segala permasalahan yang dihadapi yang dirasa sudah cukup berat, tapi nyatanya itu baru permulaan. Begitulah. Semakin dewasa, semakin menceritakan permasalahan yang membawa pada bentuk pendewasaan. Pada hal-hal yang terjadi dan bentuk penerimaannya. Semakin dewasa, semakin menyadari bahwa hidup itu perihal diri sendiri. Bukan orang lain.

Meski begitu, aku ingin memberitahumu kalau hidup itu akan selalu terikat oleh banyak hal. Nggak perlu terlalu dipikirkan. Cukup lakukan aja apa yang pengen kamu lakuin. Jadilah seperti yang kamu bayangkan. Tapi, kamu harus ingat. Kamu nggak sendirian. Apa pun yang kamu lakukan, aku akan selalu berada di sisimu. Mendukungmu diam-diam. Menemanimu di tiap jengkal perjalanan hidupmu. Memastikanmu baik-baik saja begitu pula dengan hidupmu. Jadi, berbahagialah. Karena aku, kakak perempuanmu ini akan selalu mengusahakan itu untukmu.

Jika di satu masa nanti kamu kelelahan dan ingin menangis, berbaliklah. Aku akan ada di sana. Pundakku masih cukup kuat untuk menjadi sandaranmu, jadi menangis saja. Luapkan semua yang sudah kamu pendam dengan sabar selama ini. Menangis bukan berarti lemah. Selalu tertawa juga bukan berarti hidup sudah bahagia. Manusia punya dua sisi seperti halnya koin. Sisi lemah dan kuat.

Bahagia, sedih, kecewa, marah. Semua itu hal yang manusiawi juga bentuk dari perasaan dalam diri. Kita lemah, tapi juga kuat. Namun, nggak perlu memaksakan semua hal yang terjadi akan sesuai ekspektasi. Cukup lakukan sebisa dan sebaik mungkin. Usaha dan doa juga tergantung pada kehendak Sang Pemilik Semesta. 

Semangat!

Salam sayang,

Kakak perempuanmu.


Komentar

  1. Mending jadi udara ajalah, kerjaannya cuma melayang-layang aja. Ketimbang jadi manusia, kerjaannya stress mulu. Perasaan, kok, masalah suka banget nyamperin🤔

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

00: Selamat Tinggal, Langit

     “Dia sudah membuangmu! Kenapa kamu terus setia padanya? Kenapa kamu selalu melakukan hal bodoh?” seru seorang wanita begitu panggilan teleponnya tersambung.      Seorang wanita muda yang usianya kini sudah mencapai kepala dua itu termenung sesaat. Sebelah tangannya masih setia bertengger di sisi telinganya menyangga benda persegi tipis yang sedang mengeluarkan suara seseorang dari seberang sana.      “Karena aku mirip Ibu,” jawab wanita muda itu. Kedua netranya tampak seolah sedang diselimuti kilauan kristal bening.      Dari seberang sana, wanita yang menjadi lawan bicaranya itu terdengar terkejut sekaligus tak terima. “Apa?”      Wanita muda yang bergelar sebagai seorang anak bagi ibunya itu seolah tak terusik. Dia tak merasa apa yang sedang dilakukannya merupakan sebuah kesalahan. Toh , semua yang dia katakan adalah kebenaran yang selama ini dicapai kedua netranya tanpa ada yang mencoba untuk memberikannya penjelasan. Sekedar kalimat penenang bagi hati mungil seorang anak yang

Serpihan 4

Rasanya mau mati aja. Di titik tertentu, aku juga begitu. Menangis tersedu memunguti kembali puing-puing kehancuran diri sendiri satu per satu. Saat itu, saat aku merenungi betapa sakit, hancur, muak, dan bencinya hatiku atas ketidakberdayaan diriku sendiri, yang bisa kulakukan hanyalah menerima sembari terus berjalan maju. Bahkan seberapa sulit pun sebuah kondisi, aku harus tetap hidup dengan " aku bisa mengatasi ini sendiri ". Sebab, di luar sana, iblis pun tahu. Tidak ada pilihan lagi selain itu.

Serpihan 2

  Rasanya mau mati aja. Kalimat itu sudah seperti mantra yang mencuat dari mulutku tanpa kusadari. Entah itu saat aku sedang tak berdaya atau justru baik-baik saja. Berulang kali, tanpa aku sadari seolah sudah tertanam kuat di alam bawah sadarku bahwa sesungguhnya aku benar-benar mengharapkan kematian itu sendiri. Seolah aku dengan sungguh-sungguh berharap untuk terdampar di titik pemberhentian yang sebenarnya. Sebuah pemberhentian yang nyatanya sulit untuk diraih. Untuk tetap bertahan saja sudah sesulit itu , tetapi ternyata untuk berhenti pun tak kalah menyulitkan . Aku sempat tak habis pikir oleh kesadaran akan satu hal pahit itu. Kita diciptakan sebagai makhluk bumi yang katanya sempurna jika dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Tapi yang menjadi bahan pertanyaanku adalah kalau memang manusia itu makhluk paling sempurna, kenapa manusia menjadi makhluk paling tidak berdaya dika dihadapkan pada kondisi yang tak diharapkan? Kalau memang manusia itu makhluk paling sempurna, k