Bab 1
Bukan apa-apa. Hanya saja, saat itu aku tidak merasakan
sebuah keseriusan dalam perkataannya. Dia seolah sedang berucap begitu saja.
Seperti bukan sesuatu yang besar. Jadi, rasanya akan sia-sia saja jika
kutanggapi dengan serius.
Aku menoleh ke arahnya. “Hah?”
Dia yang sedang menatap jauh ke depan itu lantas ikut
menoleh ke arahku. Bibirnya yang semula hanya segaris lurus kini sudah mengulas
lengkungan manis khasnya.
“Cobalah untuk mencintaiku,” ulangnya dengan kalimat yang
berbeda. Meski begitu, aku tetap paham maksudnya.
Dengan identitasnya saja, dia bukan sosok yang akan dicintai
oleh para manusia yang ditemuinya. Justru mereka dengan sukarela menjauh,
melarikan diri, juga jika ada tempat yang mungkin bisa dijadikan tempat
persembunyian di muka bumi ini, mereka akan bersembunyi sebaik mungkin.
“Untuk alasan apa aku mencintaimu?” tanyaku dengan beberapa
gurat lipatan menghiasi kening. Bayangan hal-hal yang terdengar cukup romantis
memenuhi kepalaku saat itu juga. Ekspektasi akan jawaban yang mampu
menerbangkanku hingga udara terasa begitu manis dan indah seketika terhempas
jauh begitu dia membuka suara.
Dia menelengkan kepalanya, masih dengan menatapku juga
tersenyum. Kemudian, sebelah tangannya terulur dan mendarat di puncak kepalaku.
“Karena mungkin dengan begitu kamu bisa hidup.”
Aku merotasikan kedua bola mataku. Jengah sekaligus kesal.
“Jawaban macam apa itu?” Tanganku terangkat menepis tangannya yang masih betah
bertengger di atas kepalaku.
Dia terkekeh kecil kemudian mengendikkan bahunya. “Tapi,
memang benar, kan?”
Aku menatapnya sengit. “Apa?”
Dia melihatku dari ekor matanya. Sinar kegelian seolah dapat
kulihat dari pancaran netranya. “Kalau cuma aku yang bisa membantumu tetap
hidup.”
Aku mengalihkan tatap seraya mendengkus kesal. Dia
benar-benar sesuatu.
***
Aku menekuri layar komputer yang masih menampilkan halaman
pencarian. Jemariku kemudian mengetik dengan lancar meski beberapa saat
sebelumnya sempat terhenti karena aku termenung.
Begitu aku mengklik tombol search, deretan hasil
pencarian seketika memenuhi halaman. Kuarahkan kursor untuk menggulir ke bawah
sembari membaca satu per satu judul yang ditampilkan oleh berbagai sumber.
Dan, ada masih banyak lagi sumber yang ketika kubaca isinya kurang lebih sama. Aku kembali ke kolom pencarian dan mulai mengetik kata pencarian yang aku inginkan.
Hasilnya tetap sama. Tak memuaskan rasa
penasaranku.
Berulang kali aku mengetikkan kata di kolom pencarian dan
itu berlangsung dari satu jam yang lalu. Dan, hasil yang kuperoleh satu pun tak
ada yang sesuai dengan apa yang sedang kucari.
Aku menghembuskan napas lelah. Mencoba menyandarkan
punggungku yang terasa berat ke sandaran kursi kerjaku. Netraku mengedar ke
sekeliling. Pemandangan para editor yang sedang berkutat di depan komputer
masing-masing masih menjadi makanan utamaku sehari-hari kecuali di hari libur
tentunya. Tiba-tiba saja, satu ide mampir di kepalaku. Aku langsung meraih
ponsel yang sejak awal berada di atas meja kemudian menghubungi satu nomor yang
sering kuhubungi selain bibi dan adikku.
Nada sambung terdengar begitu lama bagiku yang saat ini
ingin segera mengutarakan maksud dan tujuanku. Satu detik kemudian terdengar
suara sapaan dari seberang sana yang seketika aku jawab dengan penuh semangat.
Dengan seuntai senyum yang kurasa lebar, aku mulai bertanya
padanya. “Kakak penulis yang kusayang, di mana dirimu sekarang?”
Tentu saja, kalimat panggilanku barusan direspon dengan dengusan
malasnya. Meski begitu, dia tetap mengatakan keberadaannya sekarang yang tengah
memikirkan alur kelanjutan dari ceritanya.
Aku terkekeh kecil. “Aku ingin bertanya. Bagaimana caranya
mencintai?”
“Hah? Buat apa?” tanyanya heran begitu mendengar pertanyaan
yang tidak akan pernah muncul di kepalaku.
“Aku ingin mencintai seseorang.”
Suara grasak-grusuk seketika terdengar dari seberang sana
membuatku meringis kecil. Sepertinya jika saat ini aku bertemu langsung
dengannya sudah dipastikan dia akan langsung berdiri melotot tak percaya ke
arahku.
“Kamu ingin mencintai seseorang?” Suaranya terdengar seolah
takut salah dengar saking tak percayanya dengan apa yang kuucapkan barusan.
Aku berdeham singkat sebagai jawaban untuk pertanyaannya.
“Siapa namanya? Katakan padaku.”
Aku tertegun sejenak. “Kenapa kamu ingin tahu namanya?”
“Memangnya menurutmu apa? Aku ingin mencari tahu segalanya
tentang hidupnya.”
Aku menghela napas lelah. “Namanya ....”
“Jadi, siapa namanya?” desaknya yang tak sabaran.
“Kalau dipikir-pikir,” aku mengeryitkan kening sembari
menggaruk pipi yang sebenarnya tidak gatal, “aku tidak pernah bertanya.”
“Lah? Kok ....” Dia terdengar seperti tak habis pikir dengan
jawabanku. “Kamu jatuh cinta padanya ketika kamu tidak tahu namanya?” Dan,
semakin tak habis pikir lagi dinilai dari suaranya yang begitu menggelegar.
Aku segera menyangkal ucapannya agar emosinya tak semakin
memuncak. “Aku tidak jatuh cinta padanya. Aku hanya ingin mencintainya.”
“Itu sama saja. Dasar gila!” balasnya yang ternyata semakin
menjadi-menjadi, membuatku sedikit menjauhkan ponsel dari telinga dan menatap
ke sekeliling yang ternyata tengah memandangiku yang kubalas dengan seulas
senyum dan anggukan minta maaf.
Aku kembali mendekatkan ponselku begitu nada suaranya
kembali normal.
“Di mana kalian bertemu?”
“Hmm, di mana kita bertemu?” Aku mencoba mengingat-ingat adegan
pertemuanku dengan lelaki yang menjadi lambang kehancuran itu. “Apa di rumah
sakit, ya?”
“Rumah sakit?” tanyanya yang kali ini terdengar begitu antusias
sekaligus penasaran. “Apakah dia seorang dokter?”
Aku seolah dapat membayangkan ekspresinya begitu mendengar
pertanyaannya barusan. Kedua matanya yang berkilauan seolah ada taburan bintang
di sana tiap kali dia membicarakan dokter seketika memenuhi kepalaku. Belum
lagi wajah sumringah seperti sedang memenangkan lotre itu benar-benar membuatku
geleng-geleng sendiri.
“Sepertinya bukan,” jawabku secepat mungkin agar
imajinasinya tak semakin meliar.
Dengusan kecewa terdengar dari seberang sana. “Kalau gitu,
apa dia seorang pasien?”
Aku memiringkan kepala sembari kembali membongkar ingatanku.
“Apa mungkin rumah duka tempat pertama kita bertemu?”
“Rumah duka?” Nada suaranya kembali naik. “Dia masih hidup,
kan?” Keragu-raguan terdengar jelas dari suaranya.
Aku terkekeh kecil yang direspon decakan kesalnya.
“Pokoknya, katakan saja bagaimana caranya jatuh cinta.”
“Kalau kamu merencanakannya, itu bukan cinta. Ini tidak
semudah itu, tahu,” jawabnya seolah dia benar-benar paham perihal masalah cinta
meski sebenarnya aku tahu setidaknya dia punya pengalaman untuk satu hal itu
jika dibandingkan denganku.
“Terus bagaimana kamu bisa jatuh cinta?”
“Ya, itu terjadi begitu saja. Saat itu, kami bersisian
langkah. Saat jarak kami benar-benar tersisa beberapa jengkal, aku bisa mencium
bau tubuhnya. Sekilas seperti bau citrus dan rempah-rempah. Aku seketika
menoleh ke arahnya dan ternyata dia juga berbalik ke arahku. Kami sempat
bertatapan sejenak kemudian mengulas senyum satu sama lain dan kembali melanjutkan
langkah.”
“Hah, ternyata kamu gadis yang mudah didapat ya, Mina?”
komentarku begitu mendengar ceritanya perihal cinta pertamanya itu.
“Eh, asal kamu tahu, ya. Sangat sulit untuk bertemu
seseorang dengan wajah, tubuh, dan senyum itu di saat-saat seperti itu, tahu,”
balasnya yang tak terima atas responku yang seolah mengolok-olok dirinya.
“Semua orang berbau seperti keringat, tapi baunya justru menyegarkan.”
“Mungkin hanya dia yang memakai parfum sebotol.”
“Ya tidak sebotol juga.”
Aku bertopang dagu dengan satu tangan yang bebas sementara
tangan yang lain tengah menyangga ponselku. “Hmm, terjadi begitu saja, ya.
Kalau begitu, apa aku harus menunggu saat itu juga? Tidak bisakah aku
merencanakannya? Aku benar-benar tidak punya waktu.”
“Kalau begitu, ajak saja dia kencan.”
Seketika daguku tergelincir begitu mendengar cetusan idenya.
“Tiba-tiba?”
“Emosi akan meledak di luar kendali setelah kamu mengakuinya
dengan lantang.”
Aku membenarkan posisi tanganku untuk kembali bertopang dagu
dengan nyaman. “Oh, dulu kamu seperti itu, ya?”
“Iya, dulu,” jawabnya seolah pasrah begitu saja membiarkan
cerita memalukannya terdengar olehku. Membuatku terkekeh kecil. “Aku
menyeberangi jembatan tanpa jalan kembali. Kamu sudah memainkan peran besar.”
“Apa? Kenapa aku jadi terseret ke dalamnya?”
“Apa kamu ingat waktu pertama kali kita bertemu?”
Aku menggangguk. “Waktu kamu lagi cosplay jadi
maling?”
“Hei, siapa yang jadi maling? Enak saja. Saat itu aku hanya
ingin bolos pelajaran si Lampu Neon. Kamu sendiri bahkan sudah ada di atas
dinding pembatas.”
Seketika, kami berdua tertawa begitu mengingat kenangan
berharga itu. Rasanya seperti baru kemarin kami saling bertemu kemudian
mengenal, tetapi kenyataannya waktu sudah menunjukkan segalanya. Semuanya
berlalu begitu saja tanpa ada yang menyadari.
“Terus, tiba-tiba saja teriakan guru BK yang memanggil
namamu membuatmu panik dan mengusulkan ide gila. Dan, berakhir dengan aku menerobos
ruang OSIS yang padahal saat itu sedang rapat. Aku melangkah cepat ke arahnya
kemudian menariknya berdiri dari kursi kebesarannya. Saat itu, aku benar-benar
tidak memedulikan yang lain. Yang ada dalam kepalaku hanyalah segera menyatakan
perasaanku pada sang Ketua OSIS itu.”
“Benar. Setelah adegan itu, seluruh penghuni sekolah
mencapmu gila. Kamu itu protagonis wanita yang agresif. Kamu seolah terobsesi
pada protagonis pria yang melarikan diri seperti di novelmu.”
Dari seberang sana terdengar helaan napasnya. Sepertinya mood-nya
sedang buruk. “Apa kamu juga berpikir begitu?”
“Kenapa memangnya? Pak Kris memberitahumu itu?”
“Tidak. Hanya saja--” Mina terdengar malas untuk
melanjutkan penjelasannya.
“Ya, bagaimana bisa kamu melupakan cinta pertama? Wajar jika
hal itu meninggalkan bekas dalam hidupmu. Lupakan saja. Si brengsek itu tidak
tahu apa-apa,” balasku mencoba membuat mood-nya membaik dan ternyata
berhasil.
“Kamu benar. Dia tidak tahu apa-apa. Dia sering muncul dalam
mimpiku sepanjang waktu. Oh, benar, mimpi. Apa kamu punya fotonya? Coba periksa
media sosialnya dan lihat fotonya sebelum kamu tidur. Begitu dia muncul dalam
mimpimu, permainan berakhir.”
Aku terduduk tegak begitu mendengar usulnya. “Benarkah?”
“Iya. Coba saja.”
Aku berpikir sejenak. “Oke. Kamu baru saja menyelamatkan
hidupku.”
Dia menghela napas. “Apa kamu berencana untuk mencintainya
dengan seluruh hidupmu? Sebenarnya siapa lelaki itu sampai membuatmu seperti
ini?”
Aku hanya mengendikkan bahu. “Beri aku waktu tiga bulan. Aku
akan memberitahumu semuanya setelah tiga bulan.”
“Kenapa harus tiga bulan?”
“Ya, pokoknya setelah tiga bulan aku sendiri yang akan
memberitahumu dan semuanya pasti akan baik-baik saja. Aku tidak akan pernah
sembrono sepertimu,” jelasku yang diakhiri dengan kekehan.
“Hah, baiklah. Bagaimana pun baru-baru ini aku bertemu
dengan pria yang mencuri ciuman pertamaku.”
“Apa? Pria yang tidak kamu kenal itu, kan? Kapan? Di mana?
Bagaimana? Mengapa?” tanyaku penuh antusias.
“Yah, pokoknya jangan terlalu kaget.”
“Siapa?”
“Kris. Namanya Kris Leroy. Pak Kris, supervisormu.”
“Hah? Si brengsek itu?”
😂🤣
BalasHapus