Langsung ke konten utama

Aku (masih) manusia, kan?


Lagi-lagi perasaanku kacau. Pikiranku penuh dengan hal-hal yang tidak aku sukai. Ini menyebalkan. Rasanya seolah ada yang mengendalikan itu semua. Seolah aku kehilangan kendali untuk sementara waktu.

Padahal awalnya aku membuka akun media sosialku hanya untuk mencari hiburan, tapi justru berakhir seperti ini. Dadaku penuh sesak. Seolah ada beban baru yang menimpanya. Aku ingin menangis, meraung marah, berteriak sekencang mungkin hingga hanya legalah yang dapat kurasakan. 

Kenapa?

Kenapa harus aku?

Memangnya cuma aku yang semenyedihkan ini?

Memangnya mereka, orang-orang di luar sana juga selalu meraih apa yang mereka mau, apa yang mereka impikan? 

Tidak, kan? Tapi, kenapa aku seperti ini?

Kenapa semua yang terlihat oleh kedua netraku begitu berhasil menusuk relung hatiku? Kenapa perasaanku menjadi begitu kacau setelah menontonnya? Kenapa kedua mataku memanas begitu mendengar segala macam kebahagiaan di hidup mereka?

Aku juga ingin. Aku juga mau seperti  mereka.

Kata siapa aku sudah cukup puas dengan keadaan seperti ini? KATA SIAPA? MEREKA CUMA TAHUNYA HIDUPKU BAHAGIA. MEREKA CUMA TAHUNYA AKU BERUNTUNG ATAS APA-APA YANG MEREKA INGINKAN ITU BERHASIL AKU DAPATKAN. KATA SIAPA AKU MENERIMA KEHIDUPAN YANG SEPERTI INI? Mereka sangat amat menyebalkan.

Aku selalu mencoba untuk bersikap bahwa semua ini yang terbaik. Aku selalu mengingatkan diri sendiri untuk terus bersyukur atas apa yang kudapat. Aku selalu mencoba belajar untuk menerima apa-apa yang tidak sesuai dengan yang kuharapkan dan lagi-lagi perkataan bahwa semua ini yang terbaik untukku seolah menjadi mantra khusus di saat seperti ini.

Tapi, apa mereka tahu itu? Apa mereka memahami perasaanku? Apa mereka mau mengerti sedikit saja usahaku? Tidak. Mereka tidak pernah sekali pun bisa mengerti semua itu. Mereka menyebalkan. Benar-benar menyebalkan!

Aku benci. Aku marah. Aku kecewa. Aku sedih. Dan, itu semua bukan untuk mereka, tapi untuk diriku sendiri. Aku benci pada diriku yang selalu menjadi manusia gagal dalam mencapai mimpinya. Aku marah pada diriku sendiri karena bahkan setelah menyadari semua kenyataannya, aku masih saja suka berekspektasi dan menaruh harapan yang tinggi yang pada akhirnya selalu mengecewakan. Aku kecewa pada diriku sendiri karena selalu berhasil menyembunyikan semua luka itu dengan senyum tipis dan kata "nggak papa" atau "semua bakal baik-baik aja" seolah-olah itu sanggup mengobati lukanya. Aku sedih pada diriku yang tiap malamnya selalu diisi dengan air mata entah untuk alasan apa dan tamparan atau pukulan yang beriringan dengan kata-kata makian pada diri sendiri.

Aku masih manusia, kan? Aku masih waras, kan? 

Apa menjadi manusia harus seperti ini? Seperti aku. Atau, ini hanya terjadi padaku?

Aku ingin menggapai mimpiku. Aku ingin meraih apa-apa yang kuharapkan. Aku ingin merasa puas atas hasil yang memang kuharapkan. Aku ingin merasa bangga pada diriku sendiri. Aku ingin menghargai diriku sendiri dengan benar. Aku ingin mencintai diriku sendiri tanpa harus dibayang-bayangi oleh berbagai penyesalan. Aku ingin berbahagia atas pencapain yang diriku raih. Aku ingin benar-benar tersenyum dan tertawa lepas tanpa beban, tanpa dipayungi awan gelap yang membuat kerongkonganku tercekat tiap kali aku bahagia.

Tapi, itu semua tidak pernah berhasil. Aku tidak pernah tahu bagaimana caranya untuk itu semua. Aku tidak pernah bisa mengerti apa saja yang harus kulakukan sebagai langkah awal. Semuanya seolah dilapisi dinding yang menjulang kokoh hingga sulit untuk kutembus. 

Sejak awal, aku tidak pernah diberi pilihan jalan akan lewat mana diriku. Sejak awal, aku hanya punya satu tujuan hingga ketika di tengah perjalanan jalan yang kulewati itu hancur, aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Aku kehilangan arah dan itu semua membuatku mati secara perlahan.

Bahkan ketika suatu saat aku berhasil menemukan tujuan baru, aku selalu tidak diberi pilihan untuk memilih. Seolah-olah aku harus menuruti begitu saja, mau tidak mau.

Aku berulang kali merasa mati. Bukan mati yang secara harfiah. Mental dan jiwaku yang dipaksa untuk rusak hingga nyaris mati. Lalu, satu pertanyaan itu akan terus menghantuiku bahkan saat aku terlelap di pagi hari.

Apakah aku masih bisa disebut manusia?

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

00: Selamat Tinggal, Langit

     “Dia sudah membuangmu! Kenapa kamu terus setia padanya? Kenapa kamu selalu melakukan hal bodoh?” seru seorang wanita begitu panggilan teleponnya tersambung.      Seorang wanita muda yang usianya kini sudah mencapai kepala dua itu termenung sesaat. Sebelah tangannya masih setia bertengger di sisi telinganya menyangga benda persegi tipis yang sedang mengeluarkan suara seseorang dari seberang sana.      “Karena aku mirip Ibu,” jawab wanita muda itu. Kedua netranya tampak seolah sedang diselimuti kilauan kristal bening.      Dari seberang sana, wanita yang menjadi lawan bicaranya itu terdengar terkejut sekaligus tak terima. “Apa?”      Wanita muda yang bergelar sebagai seorang anak bagi ibunya itu seolah tak terusik. Dia tak merasa apa yang sedang dilakukannya merupakan sebuah kesalahan. Toh , semua yang dia katakan adalah kebenaran yang selama ini dicapai kedua netranya tanpa ada yang mencoba untuk memberikannya penjelasan. Sekedar kalimat penenang bagi hati mungil seorang anak yang

Serpihan 4

Rasanya mau mati aja. Di titik tertentu, aku juga begitu. Menangis tersedu memunguti kembali puing-puing kehancuran diri sendiri satu per satu. Saat itu, saat aku merenungi betapa sakit, hancur, muak, dan bencinya hatiku atas ketidakberdayaan diriku sendiri, yang bisa kulakukan hanyalah menerima sembari terus berjalan maju. Bahkan seberapa sulit pun sebuah kondisi, aku harus tetap hidup dengan " aku bisa mengatasi ini sendiri ". Sebab, di luar sana, iblis pun tahu. Tidak ada pilihan lagi selain itu.

Serpihan 2

  Rasanya mau mati aja. Kalimat itu sudah seperti mantra yang mencuat dari mulutku tanpa kusadari. Entah itu saat aku sedang tak berdaya atau justru baik-baik saja. Berulang kali, tanpa aku sadari seolah sudah tertanam kuat di alam bawah sadarku bahwa sesungguhnya aku benar-benar mengharapkan kematian itu sendiri. Seolah aku dengan sungguh-sungguh berharap untuk terdampar di titik pemberhentian yang sebenarnya. Sebuah pemberhentian yang nyatanya sulit untuk diraih. Untuk tetap bertahan saja sudah sesulit itu , tetapi ternyata untuk berhenti pun tak kalah menyulitkan . Aku sempat tak habis pikir oleh kesadaran akan satu hal pahit itu. Kita diciptakan sebagai makhluk bumi yang katanya sempurna jika dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Tapi yang menjadi bahan pertanyaanku adalah kalau memang manusia itu makhluk paling sempurna, kenapa manusia menjadi makhluk paling tidak berdaya dika dihadapkan pada kondisi yang tak diharapkan? Kalau memang manusia itu makhluk paling sempurna, k