Langsung ke konten utama

00: Selamat Tinggal, Langit


    “Dia sudah membuangmu! Kenapa kamu terus setia padanya? Kenapa kamu selalu melakukan hal bodoh?” seru seorang wanita begitu panggilan teleponnya tersambung.

    Seorang wanita muda yang usianya kini sudah mencapai kepala dua itu termenung sesaat. Sebelah tangannya masih setia bertengger di sisi telinganya menyangga benda persegi tipis yang sedang mengeluarkan suara seseorang dari seberang sana.

    “Karena aku mirip Ibu,” jawab wanita muda itu. Kedua netranya tampak seolah sedang diselimuti kilauan kristal bening.

    Dari seberang sana, wanita yang menjadi lawan bicaranya itu terdengar terkejut sekaligus tak terima. “Apa?”

    Wanita muda yang bergelar sebagai seorang anak bagi ibunya itu seolah tak terusik. Dia tak merasa apa yang sedang dilakukannya merupakan sebuah kesalahan. Toh, semua yang dia katakan adalah kebenaran yang selama ini dicapai kedua netranya tanpa ada yang mencoba untuk memberikannya penjelasan. Sekedar kalimat penenang bagi hati mungil seorang anak yang saat itu usianya masih terlalu kecil untuk dipertontonkan segala macam pertunjukan yang menggores hati juga menghancurkan isi kepalanya.

    “Ibu kan juga hidup seperti itu. Meskipun Ayah terus-terusan menyakiti hati ibu, Ibu selalu mencintai dan menantikan Ayah.” Dia menghela napas panjang. Sekuat tenaga membalurkan kucuran air yang mampu membasahi kerongkongannya yang entah bagaimana terasa mengering.

    “Karena Ibu tahu betapa menyakitkannya perasaan itu, makanya Ibu memarahiku seperti sekarang, kan?”

    “Dita ….” Suara yang memanggil namanya itu terdengar lirih juga seolah sedang tercekat di tempat. Wanita yang usianya sudah memasuki separuh waktu itu benar-benar tak menyangka bahwa anak perempuan satu-satunya yang paling berharga yang dia syukuri kehadirannya di hidupnya itu memperdengarkan kata-kata yang mampu merajam hatinya.

    “Tapi … Ibu juga yang paling tahu perasaanku saat ini. Kalau aku nggak bisa melupakan Langit. Aku nggak bisa benar-benar meninggalkannya. Dan pada akhirnya, aku akan kembali padanya. Ibu tahu, kan?” 

    Bulir-bulir kristal bening yang semula bertengger melingkupi netranya terjatuh dengan bebasnya mengaliri kedua pipinya. “Sekalipun itu berat bagi Ibu, terima kasih karena Ibu nggak pernah meninggalkan Ayah. Terima kasih karena Ibu tetap menghadirkan sosok ayah dalam hidupku. Aku juga ingin menjadi ibu seperti itu untuk Faressa. Bantu aku, Bu.”

    “Ya ampun. Dasar anak nakal! Kenapa kamu harus mengikuti nasib sial Ibu hingga akhir?” rutuk wanita paruh baya yang sedari tadi dipanggil ibu itu.

    Wanita muda yang mendengar itu seketika tertawa dalam hening. Meski kedua pipinya sudah basah, hatinya terasa sedikit lega dan bibirnya tak mampu untuk tidak tertarik ke atas.

    “Baiklah. Itu hidupmu, jadi terserah saja kalau kamu ingin hidup seperti itu. Tapi awas saja kalau kamu menangis dan menyesalinya di depan Ibu!” omel sang ibu yang masih tak terima akan keputusan anaknya yang dirasa bukan keputusan yang baik untuk keduanya. Meski begitu, dirinya juga tak benar-benar lepas tangan begitu saja. Meski mungkin jarak terbentang membuatnya tak bisa bersua dengan bebas, lantunan doa akan selalu dia ukir tiap waktu untuk kebahagiaan anak perempuannya.

    “Ibu ….”

    “Sudahlah. Kalau begitu Ibu tutup dulu teleponnya. Jaga kesehatan kalian di sana.” Sebelum sang anak berhasil melanjutkan kalimatnya, dia memotong dan mengakhiri sambungan percakapan via suara itu.

    Seusai percakapan tadi, hanya keheningan malam yang menyelimuti sekitar. Wanita muda itu atau yang biasa dipanggil Dita justru terpekur untuk beberapa waktu. Benda persegi tipis yang sudah tidak mengeluarkan suara itu dia letakkan di atas meja. Kemudian kedua tangannya mengelap kedua sisi pipinya, menghilangkan jejak basah yang sempat terlampir di sana.

    Kalau dipikir-pikir lagi, mulai dari mana salahnya? Dia sendiri tak pernah benar-benar memikirkan persoalan itu semua. Menurutnya, dia tak perlu merancang akan bagaimana hidupnya ke depan. Dia tak perlu bersusah payah merubah diri menjadi seperti yang mereka inginkan untuk menjadi manusia. Karena mau sebagus apa pun masa depan yang dirancangnya, tak pernah seberarti itu hingga berulang kali dihancurkan. Entah oleh semesta itu sendiri atau para manusianya. Hingga kelelahan membawanya pada satu pemikiran. Cukup ikuti saja alur yang akan menuntunnya hingga tiba di penghujung nanti.

    Dita pernah berharap, kemudian dikecewakan. Meski begitu, dia tak berhenti berharap. Di usia yang banyak orang menyebutnya sweet seventeen dan merayakannya bersama orang-orang tersayang, dia justru terdampar di lautan penuh buku yang ada di sekolahnya. Tenggelam dalam kumpulan aksara yang tiada akhir. Dan, dia sama sekali tak pernah mengira kalau satu doa yang meluncur bebas dari mulutnya akan membawanya pada sebuah tali simpul yang rumit.

    Dita akui, selama ini, kehidupannya adalah rangkaian tanpa usaha. Seharusnya dia tidak mencoba merasakan cinta. Tapi meski begitu, dia tak bisa menghentikan tunas yang tumbuh di hatinya. Dia melabuhkan banyak harapan pada satu sosok yang justru membawanya pada luka yang tak berkesudahan. 

    “Oek … oek … oek!” Suara tangis bayi yang berasal dari dalam kamar menyadarkan Dita dari lamunan panjangnya. Dia bergegas bangkit dan melangkah ke arah kamar bayinya.

    Dengan penuh kehati-hatian juga kasih sayang, Dita mengulurkan kedua tangannya merengkuh tubuh bayi mungil itu dan mendekapnya. Menenangkan kerisauan yang mungkin mengganggu tidur nyenyak kesayangannya.

    “Sssttt, Mama di sini, Sayang. Bobok lagi, ya,” ucap Dita diselingi kecupan lembut. Menimangnya hingga kantuk membawa bayinya pada dunia mimpi. Sesekali tepukan pelan di pantatnya Dita lakukan untuk mengantarkan kesayangannya terlelap.

    Senandung lagu favoritnya yang tanpa sadar seringkali terlantun pun tak luput dia senandungkan sebab lagu itu seolah sudah menjadi lagu pengantar tidur juga penangkal mimpi buruk bagi bayinya.

    Bunyi pintu yang terbuka kemudian kembali tertutup disertai langkah kaki yang masuk ke dalam rumah seketika memenuhi pendengarannya. Dita sudah menebak siapa pelakunya, tapi sebelum dia menyambut kepulangannya itu dia meletakkan bayinya kembali ke box bayi dan membenarkan posisi tidur agar bayinya dapat tidur dengan nyaman.

    Begitu Dita keluar dari kamar bayinya, dia sudah disambut dengan pemandangan yang cukup asing. Tak biasanya laki-laki itu menyentuh minuman keras hingga mabuk seperti saat ini. Laki-laki itu justru terbaring dengan posisi telungkup di atas sofa dengan wajah miring menghadap Dita. Meski dalam kondisi seperti itu pun, pesonanya masih sama. Tak berkurang dan Dita mengakui itu. Bahkan sejak pertemuan pertama mereka dulu.

    Perlahan Dita mendekat dan berjongkok di samping laki-laki itu. “Tumben kamu mabuk gini, Lang. Bukannya kamu anti banget nyentuh minuman keras itu,” bisik Dita masih dengan menatap seksama fitur wajah laki-laki yang tak sadarkan diri.

    “Bahkan di saat kamu mabuk gini, kamu masih memikirkan banyak hal.” Dita mengulurkan sebelah tangannya, menyentuh dahi laki-laki itu dan mengelus pelan demi mengurai kerutan yang muncul di sana. “Kamu mikirin apa sih, Lang?”

    Tak disangka, kedua kelopak mata laki-laki itu membuka sedikit demi sedikit. Terlihat bahwa dia agaknya cukup kesulitan untuk mengendalikan bagian tubuhnya sendiri. 

    Dita tersenyum kecil begitu netranya menangkap sepasang netra bermanik coklat tua yang kini tampak sayu. “Hai,” sapa Dita masih dengan senyumnya.

    “Anin,” ucap laki-laki itu dengan suara yang serak. Sebelah tangannya yang tergolek bahkan hampir jatuh dari sofa terulur membelai sebelah wajah Dita. “Diraa.”

    Deg.

    Dita memejamkan kedua matanya. Berusaha kuat menahan sesak yang amat menyiksa bersamaan degup jantungnya yang kian bergemuruh. Rasanya sudah ratusan kali dia mendengar nama itu terucap dari bibir laki-laki yang sayangnya kini menjadi suaminya itu, tapi rasanya tetap menyakitkan. Telinganya seolah masih tak terbiasa. Sepertinya memang benar. Kita tidak bisa terbiasa dengan hal-hal yang membuat kesal juga sakit biarpun sudah merasakannya beberapa kali.

    “Ini menyakitkan, Tuhan,” gumam Dita yang masih memaksa kedua matanya untuk tidak memproduksi air mata.

    Sapuan jari jemari laki-laki itu masih bisa Dita rasakan di permukaan pipinya. Tapi hal itu justru semakin menyiksanya. Dengan sekuat tenaga yang tersisa, Dita membuka matanya dan menatap laki-laki di depannya yang masih memusatkan pandangannya pada dirinya.

    “Anindira udah sadar, Dit,” lirih laki-laki itu.

    Dita lagi-lagi tersenyum. Dia tahu betul vonis yang sedang suaminya lontarkan. Sejak awal, benang penghubung keduanya adalah wanita itu, begitu pula dengan pemutus hubungan ini. Meski sadar bahwa dia seperti sedang membawa bom waktu tiap harinya yang sewaktu-waktu dapat meledak, dia tetap menerima semuanya demi harapan kecil yang sudah mengakar kuat di hati. Sebuah kebahagiaan yang dirinya harapkan dapat merasakannya.

    Ternyata, memang harus berhenti di sini. Suaminya sudah memberikan tanda titik dan dirinya tidak bisa mengubahnya menjadi koma. 

    “Selamat, Lang. Akhirnya penantianmu selama ini nggak sia-sia,” balas Dita. Sebelah tangannya mengelus lembut wajah suaminya itu. Perlahan merekamnya dengan baik untuk dia simpan di kepalanya karena mungkin ini adalah hal yang bisa dia lakukan untuk terakhir kalinya sebelum keduanya melangkah masing-masing.

    “Maaf, Dit,” ucap laki-laki itu lagi.

    Dita menggeleng. “Nggak ada yang perlu diminta maafkan, Lang. Kamu nggak salah. Harusnya ini jadi berita yang membahagiakan. Anin udah sadar, artinya kamu bisa bareng-bareng lagi sama Anin. Kamu harusnya nemenin Anin bukannya malah pulang ke rumah dalam kondisi mabuk gini.”

    Laki-laki itu mengernyit seolah tak suka mendengar kalimat Dita barusan. “Ergh.”

    “Eh, kamu kenapa? Pusing, ya?” Dita mencoba membantu suaminya dengan memberikan pijatan di pelipisnya. “Sok-sokan mabuk, sih.”

    “Mau tiduran di kamar aja nggak? Biar peredaran darahnya lancar jadi badan kamunya juga nyaman,” tanya Dita yang melihat ketidaknyamanan dari gelagat yang ditunjukkan suaminya itu.

    Dengan cekatan, Dita membantu sang suami menopang badannya yang kapan saja jika dilepas langsung luruh. Keduanya melangkah perlahan menuju kamar tidur mereka. Ketika hendak membuka pintu kamar, Dita sedikit kesulitan karena suaminya yang tak bisa diam meski pada akhirnya dia berhasil membuka pintu.

    “Aku udah ada kamu, Dit,” gumam laki-laki itu tak tentu.

    Dita yang masih sibuk menopang tubuh sang suami sejenak berhenti melangkah. “Tapi yang kamu mau dan bikin kamu bahagia bukan aku, Lang.”

    “Kamu gimana?” Lagi-lagi laki-laki itu bergumam lirih meski masih sanggup Dita dengar.

    Dita tak menjawab. Dia langsung membaringkan suaminya di atas pembaringan. Melonggarkan dasi yang masih melekat di leher suaminya agar jalan pernapasannya lancar. Terakhir, dia melepaskan kedua sepatu yang masih melekat di kedua kaki suaminya.

    Untuk sejenak, Dita kembali duduk di samping tubuh suaminya. Menatap lamat-lamat wajah sang suami. Lalu sebuah dorongan untuk menunduk, menyejajarkan wajahnya dengan wajah sang suami. Sebuah ciuman panjang dia berikan sebagai salam perpisahan. “Aku mencintaimu, Langit,” lirih Dita. Benar-benar lirih hingga sepertinya tak ada yang mendengarnya kecuali dirinya sendiri.

    Dita kemudian bangkit berdiri. Masih dengan menatap dalam pada sosok suami yang keesokan harinya sudah bukan lagi. “Seperti yang kamu bilang sebelum menikahiku, kita akan bercerai begitu Anin sadar. Aku berhenti di sini, Lang. Semoga kamu dan Anin selalu dilimpahi kebahagiaan.”

    Keesokan paginya begitu laki-laki itu bangun dengan kepala yang sangat berat akibat efek mabuknya semalam, dia mendapati kekosongan yang tak dirinya sukai. Dengan setengah badannya yang bersandar di tepi ranjang, dia mencoba memanggil Dita. Tak ada jawaban. Beberapa kali dirinya meneriakkan nama sang istri, tapi tetap tak ada yang menyahut.

    Ini aneh. Jam masih menunjukkan pukul tujuh tiga puluh di mana seharusnya Dita sibuk berkutat di dapur begitu juga dengan sang anak yang pasti asyik bermain di depan televisi, tapi hari ini dia tidak mendengar apa pun bahkan suara celotehan anaknya yang masih bayi yang seringkali memeriahkan kondisi rumah.

    Kepalanya menoleh ke sisi. Di atas meja yang berada di sisi ranjang terdapat setangkup roti dan secangkir kopi juga air putih sebagai menu sarapan biasanya lalu ada sebutir obat yang sepertinya itu untuk pereda mabuknya. Ketika akan meraih obat, netranya menangkap sesuatu yang lain. Sebuah map cokelat yang di atasnya terdapat note kecil.

    Tangannya seketika beralih meraih map itu dan membaca tulisan tangan yang terlampir di note berwarna biru muda. Urat-urat di sekujur tubuhnya turut menegang begitu mendapati hal yang menjadi semacam serangan di pagi hari yang tak dia harapkan.

Pagi, Lang. Semoga efek mabuknya nggak parah-parah banget, ya. Aku udah siapin sarapan seperti biasanya, juga obat buat pereda mabuk. Jangan lupa diminum! 

Ah iya, aku juga udah urus surat cerai kita jadi kamu tinggal tanda tangan aja. Makasih buat semuanya ya, Lang. Meski waktu yang kuhabiskan bersamamu hanya sebentar, sedetik pun aku nggak pernah nggak bahagia. Ditambah kehadiran Faressa yang menyempurnakan semua itu. Aku harap setelah ini kamu bahagia sama Anin.

Aku pergi, tentunya sama kesayangan aku, Faressa. Nggak mungkin aku ninggalin dia sama kamu apalagi dia masih butuh aku, ibunya. Dan lagi, kamu pasti bakal sibuk sama pemulihan Anin. Jaga kesehatan ya, Lang. Selamat tinggal! 

    “Brengsek!” umpat laki-laki itu seolah tak terima. 

    Sial. Dita benar-benar pergi.

***

 




 


    


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Serpihan 4

Rasanya mau mati aja. Di titik tertentu, aku juga begitu. Menangis tersedu memunguti kembali puing-puing kehancuran diri sendiri satu per satu. Saat itu, saat aku merenungi betapa sakit, hancur, muak, dan bencinya hatiku atas ketidakberdayaan diriku sendiri, yang bisa kulakukan hanyalah menerima sembari terus berjalan maju. Bahkan seberapa sulit pun sebuah kondisi, aku harus tetap hidup dengan " aku bisa mengatasi ini sendiri ". Sebab, di luar sana, iblis pun tahu. Tidak ada pilihan lagi selain itu.

Serpihan 2

  Rasanya mau mati aja. Kalimat itu sudah seperti mantra yang mencuat dari mulutku tanpa kusadari. Entah itu saat aku sedang tak berdaya atau justru baik-baik saja. Berulang kali, tanpa aku sadari seolah sudah tertanam kuat di alam bawah sadarku bahwa sesungguhnya aku benar-benar mengharapkan kematian itu sendiri. Seolah aku dengan sungguh-sungguh berharap untuk terdampar di titik pemberhentian yang sebenarnya. Sebuah pemberhentian yang nyatanya sulit untuk diraih. Untuk tetap bertahan saja sudah sesulit itu , tetapi ternyata untuk berhenti pun tak kalah menyulitkan . Aku sempat tak habis pikir oleh kesadaran akan satu hal pahit itu. Kita diciptakan sebagai makhluk bumi yang katanya sempurna jika dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Tapi yang menjadi bahan pertanyaanku adalah kalau memang manusia itu makhluk paling sempurna, kenapa manusia menjadi makhluk paling tidak berdaya dika dihadapkan pada kondisi yang tak diharapkan? Kalau memang manusia itu makhluk paling sempurna, k