Rasanya mau mati aja.
Kalimat itu sudah seperti mantra yang mencuat dari mulutku tanpa kusadari. Entah itu saat aku sedang tak berdaya atau justru baik-baik saja.
Berulang kali, tanpa aku sadari seolah sudah tertanam kuat di alam bawah sadarku bahwa sesungguhnya aku benar-benar mengharapkan kematian itu sendiri. Seolah aku dengan sungguh-sungguh berharap untuk terdampar di titik pemberhentian yang sebenarnya.
Sebuah pemberhentian yang nyatanya sulit untuk diraih. Untuk tetap bertahan saja sudah sesulit itu, tetapi ternyata untuk berhenti pun tak kalah menyulitkan. Aku sempat tak habis pikir oleh kesadaran akan satu hal pahit itu.
Kita diciptakan sebagai makhluk bumi yang katanya sempurna jika dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Tapi yang menjadi bahan pertanyaanku adalah kalau memang manusia itu makhluk paling sempurna, kenapa manusia menjadi makhluk paling tidak berdaya dika dihadapkan pada kondisi yang tak diharapkan? Kalau memang manusia itu makhluk paling sempurna, kenapa manusia memiliki kelemahan? Kalau pun memang manusia itu makhluk paling sempurna, kenapa manusia tak pernah benar-benar tahu?
Lantas, sempurna yang seperti apa untuk mendefinisikan manusia itu sendiri? Kalimat macam apa yang merepresentasikan kata sempurna sesungguhnya?
Sesak sekali. Menjadi salah satu makhluk paling sempurna tak menjamin hidupku selalu baik-baik saja. Menjadi seorang manusia tak membuat kepalaku mau diredam untuk bekerja sama.
Menyedihkan sekali.
Komentar
Posting Komentar