Langsung ke konten utama

Hari Yang Normal

Hari ini lagi-lagi berlalu seperti biasa. Mulai dari bangun tidur, mandi, berangkat ke kampus, pulang ke kostan. Tidak ada yang spesial, yang membuat otak lemotku mau menyisakan ruang untuk menyimpan kenangan baru. Yah, semuanya berjalan dengan normal. Senormal itu hingga tak terasa apa-apa. Hambar. Kosong.

Membicarakan perihal normal, seketika di sudut kepalaku muncul pertanyaan yang sampai aku menuliskannya, aku masih belum tahu jawabannya. 

"Sebenarnya, apa itu normal? Apa karena itu sudah menjadi bagian dari keseharian menjadikannya normal? Memangnya kalau berbeda itu artinya tidak normal?" 

Gila memang diriku. Senang sekali menyiksa diri sendiri dengan berbagai macam pertanyaan yang tidak diketahui jawabannya. Senang sekali membuat kepala penuh sesak dengan berbagai hal yang selalu berakhir dengan tanda tanya. Senang sekali mencari-cari permasalahan yang sebenarnya itu bukanlah hal yang patut dipermasalahkan. Sungguh melelahkan hidup sebagai aku.

Namun, satu hal yang langsung aku sadari saat tubuhku sudah mendarat di atas kasur busaku. Hatiku sedang tidak baik-baik saja. Gumpalan sesak yang ternyata sedari aku membuka mata tadi pagi sudah merongrong dalam dadaku tanpa aku sadari, atau aku yang berpura-pura tak mau tahu. Yah, manusia memang makhluk paling pintar dalam berpura-pura, bukan?

Semua itu hanya karena sebuah mimpi. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, itu bukan sekedar hanya jika pada akhirnya berhasil menggangguku. Memporak-porandakan hatiku begitu saja.

Mimpi yang entah harus aku sebut sebagai mimpi buruk atau bukan. Dan, itu bersumber pada dia.  

Dia muncul dalam mimpiku hari ini. Untuk pertama kalinya sejak enam tahun yang lalu. Caranya berbicara, suaranya saat menyebutkan namaku, kerlingan matanya tiap kali menatapku, tindakannya yang sering kali membuatku merasa diistimewakan, gerak-geriknya yang seolah mengatakan bahwa akulah poros dunianya, dan aromanya yang selalu berhasil menenangkanku. Semuanya terasa begitu nyata. Namun, sekeras apa pun aku berusaha, aku tidak bisa mengingat wajahnya. Semakin lama, wajahnya yang hanya berupa gambaran buram itu justru kian memudar. Menyisakan sepi yang mencekik.

Aku benci perasaan itu. Perasaan tak berdaya dan tak mengerti. Tak tahu harus bertindak seperti apa. Seolah seketika menjelma menjadi makhluk bumi paling bodoh dan tidak tahu diri. Menyebalkan! Kenapa harus muncul di saat seperti ini setelah sekian lama menghilang bagai uap? Harusnya kalau memang berniat untuk menghilang, maka lakukan dengan benar. Jangan meninggalkan jejak apa pun. 

Kalau seperti ini, usahaku untuk terlihat baik-baik saja selama ini sudah pasti gagal total. Lalu selanjutnya bagaimana? 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

00: Selamat Tinggal, Langit

     “Dia sudah membuangmu! Kenapa kamu terus setia padanya? Kenapa kamu selalu melakukan hal bodoh?” seru seorang wanita begitu panggilan teleponnya tersambung.      Seorang wanita muda yang usianya kini sudah mencapai kepala dua itu termenung sesaat. Sebelah tangannya masih setia bertengger di sisi telinganya menyangga benda persegi tipis yang sedang mengeluarkan suara seseorang dari seberang sana.      “Karena aku mirip Ibu,” jawab wanita muda itu. Kedua netranya tampak seolah sedang diselimuti kilauan kristal bening.      Dari seberang sana, wanita yang menjadi lawan bicaranya itu terdengar terkejut sekaligus tak terima. “Apa?”      Wanita muda yang bergelar sebagai seorang anak bagi ibunya itu seolah tak terusik. Dia tak merasa apa yang sedang dilakukannya merupakan sebuah kesalahan. Toh , semua yang dia katakan adalah kebenaran yang selama ini dicapai kedua netranya tanpa ada yang mencoba untuk memberikannya penjelasan. Sekedar kalimat penenang bagi hati mungil seorang anak yang

Serpihan 4

Rasanya mau mati aja. Di titik tertentu, aku juga begitu. Menangis tersedu memunguti kembali puing-puing kehancuran diri sendiri satu per satu. Saat itu, saat aku merenungi betapa sakit, hancur, muak, dan bencinya hatiku atas ketidakberdayaan diriku sendiri, yang bisa kulakukan hanyalah menerima sembari terus berjalan maju. Bahkan seberapa sulit pun sebuah kondisi, aku harus tetap hidup dengan " aku bisa mengatasi ini sendiri ". Sebab, di luar sana, iblis pun tahu. Tidak ada pilihan lagi selain itu.

Serpihan 2

  Rasanya mau mati aja. Kalimat itu sudah seperti mantra yang mencuat dari mulutku tanpa kusadari. Entah itu saat aku sedang tak berdaya atau justru baik-baik saja. Berulang kali, tanpa aku sadari seolah sudah tertanam kuat di alam bawah sadarku bahwa sesungguhnya aku benar-benar mengharapkan kematian itu sendiri. Seolah aku dengan sungguh-sungguh berharap untuk terdampar di titik pemberhentian yang sebenarnya. Sebuah pemberhentian yang nyatanya sulit untuk diraih. Untuk tetap bertahan saja sudah sesulit itu , tetapi ternyata untuk berhenti pun tak kalah menyulitkan . Aku sempat tak habis pikir oleh kesadaran akan satu hal pahit itu. Kita diciptakan sebagai makhluk bumi yang katanya sempurna jika dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Tapi yang menjadi bahan pertanyaanku adalah kalau memang manusia itu makhluk paling sempurna, kenapa manusia menjadi makhluk paling tidak berdaya dika dihadapkan pada kondisi yang tak diharapkan? Kalau memang manusia itu makhluk paling sempurna, k