Langsung ke konten utama

Jeda

Hanya ada satu apartemen di setiap lantai sehingga ketika lift sampai di lantai enam dan terbuka, aku langsung dihadapkan pada pintu utama yang bernomor 6049.

Pintu dua sisi berwarna hitam itu tertutup rapat. Begitu aku hendak mendekat, suara langkah kaki dari dalam sana membuatku kehilangan keberanian. Aku langsung bersembunyi di lorong darurat sebelah lift.

Aku tidak bisa melihat apa yang terjadi di sana, hanya bisa mendengar suara sepatu yang melangkah kemudian pintu terbuka. Aku pikir itu suara langkah kaki satu orang hingga beberapa detik setelahnya aku kembali mendengar suara langkah kaki lainnya.

"Reza!" Suara seorang wanita yang memanggil nama Reza dengan lembut.

Aku ... terkejut. Reza? Benarkah? Bukankah harusnya dia masih ada di luar kota? Kenapa bisa ada di sana? Bukannya dia bilang lusa baru kembali?

"Apakah ada yang lain?" Suara Reza terdengar dingin di telingaku.

"Aku akan menepati janjiku. Jangan khawatir. Aku nggak akan muncul lagi di depan Ara. Aku juga nggak akan mengganggumu."

"Ya," jawab Reza yang sepertinya langsung masuk ke lift seolah-olah dia tidak ingin tinggal lama di sana.

Aku bersandar di dinding lorong darurat, perlahan memejamkan mata. Rasanya tubuhku begitu lelah. Rasa ingin tahuku menyeruak begitu saja. Apa maksud wanita tadi? Janji apa? Dan, kenapa tidak mau muncul di depanku? Sepertinya Reza tidak ingin aku mengetahui keberadaan wanita itu.

Aku tidak mengerti. Jika mereka memang tidak ada hubungan satu sama lain, kenapa harus begitu hati-hati? Kenapa Reza tidak ingin memberitahuku tentang wanita itu?

Aku menghembuskan napas perlahan kemudian membuka pintu lorong darurat dan aku dibuat tertegun karena kehadiran Clara. Wanita yang tadi bersama Reza. Aku belum siap secara mental untuk menghadapinya hari ini karena rasanya seluruh tenagaku sudah habis setelah apa yang aku saksikan. Tapi, karena sudah bertemu aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Clara yang mengetahui kehadiranku tiba-tiba melangkah mendekat seolah takut aku tidak bisa mendengar ucapannya dengan jelas. Dia juga sengaja merendahkan suaranya lantas berbisik di samping telingaku, "Reza berjanji padaku bahwa dia akan menjagaku selama sisa hidupnya."

Seketika setelah Clara menjauhkan dirinya, perasaanku kosong sekaligus sesak. Tanganku mengepal memukul-mukul dada yang entah bagaimana seolah telah kehilangan separuh asupan oksigennya. Aku menurunkan pandangan dan mencoba terus bernapas. Aku ingin menahan perasaan campur aduk di hatiku, tetapi ternyata tidak semudah itu mengabaikan perasaan yang membuatku ingin menangis.

Pada saat itu, aku baru menyadari apa yang dimaksud dengan membunuh menggunakan kata-kata.

Ini sudah hari kelima dan kalimat itu terus saja terngiang di kepalaku. Menusuk-nusuk kepingan-kepingan gambar bergerak yang di dalamnya ada aku dan Reza. Kata-kata cinta yang mengalun lembut dari bibirnya, tatapan penuh cinta yang seolah terus tertuju hanya padaku, perlakuan lembutnya, perhatiannya, janji-janjinya, serta keseluruhan hidupnya yang seolah berporos padaku. He's just a beautiful man with a beautiful soul. And I love him.

Aku tak pernah menginginkan apa pun sebelumnya kecuali bisa selalu berada di sisinya. Namun, hari itu, rasanya keyakinanku goyah perlahan-lahan. Meski keinginan untuk tetap berada di sisinya masih menggerogotiku bersamaan dengan goyahnya keyakinanku akan dirinya.

Aku harus bagaimana? Kenyataan yang kutemui ternyata tak sanggup aku terima begitu saja. Ini menyakitkan. Benar-benar menyakitkan.

Aku ingin menanyakan semua pertanyaan itu padanya, tapi aku sadar diri aku siapa. Statusku hanya tunangan, bukan istrinya. Tapi, dengan status itu saja aku merasa aku berhak untuk tahu. Hanya saja, aku juga merasa kalau aku tidak ada hubungannya dengan masa lalunya. Aku hanyalah orang luar yang seharusnya tak turut campur di dalamnya. Keadaan ini membuatku dilema. Tak tahu harus berlaku seperti apa.

Ponselku lagi-lagi berdering yang akhirnya masih kuabaikan. Aku tahu benar siapa sosok yang meneleponku itu. Aku sedang tak ingin bertemu dan bertukar kata dengannya. Kondisiku masih kacau, juga hatiku yang tak bisa dikatakan baik-baik saja.

Ini tak mudah, memang. Tapi, aku butuh waktu untuk mengambil jarak darinya. Sebelum aku akan menyesali keputusanku saat sedang kacau seperti ini, memang lebih baik menjauh.

Aku menggapai ponsel yang kini sudah dalam keadaan diam. Jariku menggeser layar kemudian menekan aplikasi chatting dan mulai mengetik.

Za, aku nggak berniat untuk pergi apalagi meninggalkanmu. Aku hanya butuh menjauh untuk beberapa waktu sampai semuanya kembali baik-baik aja. Seperti yang aku bilang, meski keyakinanku terhadapmu mulai goyah, keinginanku untuk menetap di sisimu masihlah sama kuatnya. Kamu tahu itu kan, Za? Aku akan kembali ke sisimu setelah semua yang terjadi. Aku akan selalu kembali padamu, Za. Mau sejauh apa pun aku pergi, jalan pulang yang selalu kuingat adalah kamu. Aku hanya memberi jeda bukan akhir untuk hubungan kita, Za.

Yeah, he was comfort, security, and need. All in one. It had a name. Home.

Setelah selesai merangkai kalimat yang ingin kukatakan, aku segera menekan tombol kirim. Ya, pesan itu sudah terkirim karena di sana terlihat centang dua dan seketika sudah berubah warna menjadi biru menandakan bahwa pesan tersebut sudah dibaca. Aku tak berniat untuk tahu apa balasan Reza sehingga aku segera menutup aplikasi dan mengaktifkan mode pesawat.

Aku berharap bahwa semuanya segera kembali baik-baik saja meski aku paham bahwa waktu akan terus berjalan and some memories never leave.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

00: Selamat Tinggal, Langit

     “Dia sudah membuangmu! Kenapa kamu terus setia padanya? Kenapa kamu selalu melakukan hal bodoh?” seru seorang wanita begitu panggilan teleponnya tersambung.      Seorang wanita muda yang usianya kini sudah mencapai kepala dua itu termenung sesaat. Sebelah tangannya masih setia bertengger di sisi telinganya menyangga benda persegi tipis yang sedang mengeluarkan suara seseorang dari seberang sana.      “Karena aku mirip Ibu,” jawab wanita muda itu. Kedua netranya tampak seolah sedang diselimuti kilauan kristal bening.      Dari seberang sana, wanita yang menjadi lawan bicaranya itu terdengar terkejut sekaligus tak terima. “Apa?”      Wanita muda yang bergelar sebagai seorang anak bagi ibunya itu seolah tak terusik. Dia tak merasa apa yang sedang dilakukannya merupakan sebuah kesalahan. Toh , semua yang dia katakan adalah kebenaran yang selama ini dicapai kedua netranya tanpa ada yang mencoba untuk memberikannya penjelasan. Sekedar kalimat penenang bagi hati mungil seorang anak yang

Serpihan 4

Rasanya mau mati aja. Di titik tertentu, aku juga begitu. Menangis tersedu memunguti kembali puing-puing kehancuran diri sendiri satu per satu. Saat itu, saat aku merenungi betapa sakit, hancur, muak, dan bencinya hatiku atas ketidakberdayaan diriku sendiri, yang bisa kulakukan hanyalah menerima sembari terus berjalan maju. Bahkan seberapa sulit pun sebuah kondisi, aku harus tetap hidup dengan " aku bisa mengatasi ini sendiri ". Sebab, di luar sana, iblis pun tahu. Tidak ada pilihan lagi selain itu.

Serpihan 2

  Rasanya mau mati aja. Kalimat itu sudah seperti mantra yang mencuat dari mulutku tanpa kusadari. Entah itu saat aku sedang tak berdaya atau justru baik-baik saja. Berulang kali, tanpa aku sadari seolah sudah tertanam kuat di alam bawah sadarku bahwa sesungguhnya aku benar-benar mengharapkan kematian itu sendiri. Seolah aku dengan sungguh-sungguh berharap untuk terdampar di titik pemberhentian yang sebenarnya. Sebuah pemberhentian yang nyatanya sulit untuk diraih. Untuk tetap bertahan saja sudah sesulit itu , tetapi ternyata untuk berhenti pun tak kalah menyulitkan . Aku sempat tak habis pikir oleh kesadaran akan satu hal pahit itu. Kita diciptakan sebagai makhluk bumi yang katanya sempurna jika dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Tapi yang menjadi bahan pertanyaanku adalah kalau memang manusia itu makhluk paling sempurna, kenapa manusia menjadi makhluk paling tidak berdaya dika dihadapkan pada kondisi yang tak diharapkan? Kalau memang manusia itu makhluk paling sempurna, k