Langsung ke konten utama

Perkara Aku Yang Tak Seperti Mereka

Pernah nggak sih ngalamin di mana kita lebih milih buat berdiam diri di rumah daripada harus ikut acara keluarga atau ngumpul sama temen? Alih-alih join di ruangan yang isinya penuh sama orang, aku lebih milih buat stay di kamar. Bukan tanpa alasan, tapi seperti itulah pemikiranku sekarang setelah kejadian itu.

Semua berawal dari rencana homestay in Andalucia Lodge & Brunch Bandung. Siapa yang tahu hal itu justru akan menjadi titik balik dari keseluruhan kehidupan pertemananku. Sepertinya memang benar bahwa ada yang salah pada diriku. Selama ini aku nggak begitu mempermalahkan dan menganggap bahwa semua itu baik-baik saja.

Aku nggak baik-baik saja dan nggak ada yang tahu hal itu kecuali diriku sendiri tentunya. Mereka termasuk dia justru menganggapku orang yang parah, aneh, nggak peka, jahat, dan berbagai hal lainnya yang menjurus pada konotasi yang nggak menyenangkan untuk didengar.

Aku nggak berminat untuk mengatakan hal ini pada siapa pun atau mencoba mencari validasi dari seorang profesional. Rasanya hanya akan semakin menambah beban pikiranku dan menumpuk rasa sesak di dada. 

Saat itu yang ada dalam kepalaku hanya bagaimana cara memperbaiki keadaan yang semakin canggung di antara kami berdua. Aku bukannya nggak mengerti. Aku juga bukan mau mencari pembelaan atas apa yang sudah kulakukan. Aku hanya nggak tahu harus berbicara apa dan bersikap bagaimana sehingga yang bisa kulakukan sedari awal hanya diam sembari memainkan ponsel berulang kali.

Memang benar, tujuan awal kita ke tempat itu untuk have fun bukan justru saling bungkam. Hanya saja, saat itu aku benar-benar seperti sedang menjelma menjadi sebongkah batu yang tak memiliki otak. Aku nggak bisa memikirkan apa pun, seolah fokusku sedang melayang-layang begitu saja tanpa aku sadari. 

Meski pada akhirnya kita berhasil berbaikan dan aku sempat mendapat beberapa petuah darinya sebelum terlelap malam itu. Ketika keesokan paginya begitu aku bangun, aku merasa seolah ada dinding tak kasat mata yang memperlebar jarak di antara kita berdua. Entah hal ini hanya dirasakan olehku saja atau juga dirinya. Dan karena hal itu, aku menjadi menyadari satu hal kalau caraku menikmati hidup ketika aku hanya sendiri. Aku nggak perlu berpikir harus melakukan apa, mendengarkan siapa, dan menyaring ucapan-ucapan seseorang yang akan membuatku overthingking setiap menjelang tidur.

Mungkin kebanyakan dari mereka akan mengatakan, "Freak, aneh, betah banget, ngapain aja ngedekem di kamar, itu mau meditasi atau emang males, ya tinggal ngobrol aja dong kalau ketemu orang apa susahnya, dan berbagai hal lainnya yang terdengar kurang lebih sama maknanya."

Nggak ada yang aneh ataupun salah, hanya saja mereka nggak merasakan seberat apa memikul perasaan seperti ini. Setiap ingin melewati beberapa orang harus berpikir bagaimana menyapanya, bagaimana cara menjawab sapaan yang terkesan sopan, dan apa yang akan mereka bicarakan ketika aku lewat. Atau ketika sedang berkumpul dengan banyak orang harus memikirkan bagaimana caranya agar bisa masuk ke dalam topik obrolan, bagaimana menanggapi pembicaraan mereka, dan harus seperti apa agar mereka bisa nyaman dengan kehadiranku. Belum lagi aku yang selalu gampang kehabisan energi hanya untuk berbicara dan melakukan beberapa hal. 

Menyebalkan memang. Makanya aku lebih milih sendiri di rumah atau pergi ke tempat yang sunyi dan tenang seorang diri. Aku nggak pengen terlalu menyakiti perasaanku sendiri hanya karena rasa nggak enakan.

Sekali lagi, nggak ada yang aneh atau salah. Mereka hanya nggak bisa memahami dan merasakan. Duniaku yang dianggap aneh ini adalah dunia yang jauh dari kata rusuh dan bising.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

00: Selamat Tinggal, Langit

     “Dia sudah membuangmu! Kenapa kamu terus setia padanya? Kenapa kamu selalu melakukan hal bodoh?” seru seorang wanita begitu panggilan teleponnya tersambung.      Seorang wanita muda yang usianya kini sudah mencapai kepala dua itu termenung sesaat. Sebelah tangannya masih setia bertengger di sisi telinganya menyangga benda persegi tipis yang sedang mengeluarkan suara seseorang dari seberang sana.      “Karena aku mirip Ibu,” jawab wanita muda itu. Kedua netranya tampak seolah sedang diselimuti kilauan kristal bening.      Dari seberang sana, wanita yang menjadi lawan bicaranya itu terdengar terkejut sekaligus tak terima. “Apa?”      Wanita muda yang bergelar sebagai seorang anak bagi ibunya itu seolah tak terusik. Dia tak merasa apa yang sedang dilakukannya merupakan sebuah kesalahan. Toh , semua yang dia katakan adalah kebenaran yang selama ini dicapai kedua netranya tanpa ada yang mencoba untuk memberikannya penjelasan. Sekedar kalimat penenang bagi hati mungil seorang anak yang

Serpihan 4

Rasanya mau mati aja. Di titik tertentu, aku juga begitu. Menangis tersedu memunguti kembali puing-puing kehancuran diri sendiri satu per satu. Saat itu, saat aku merenungi betapa sakit, hancur, muak, dan bencinya hatiku atas ketidakberdayaan diriku sendiri, yang bisa kulakukan hanyalah menerima sembari terus berjalan maju. Bahkan seberapa sulit pun sebuah kondisi, aku harus tetap hidup dengan " aku bisa mengatasi ini sendiri ". Sebab, di luar sana, iblis pun tahu. Tidak ada pilihan lagi selain itu.

Serpihan 2

  Rasanya mau mati aja. Kalimat itu sudah seperti mantra yang mencuat dari mulutku tanpa kusadari. Entah itu saat aku sedang tak berdaya atau justru baik-baik saja. Berulang kali, tanpa aku sadari seolah sudah tertanam kuat di alam bawah sadarku bahwa sesungguhnya aku benar-benar mengharapkan kematian itu sendiri. Seolah aku dengan sungguh-sungguh berharap untuk terdampar di titik pemberhentian yang sebenarnya. Sebuah pemberhentian yang nyatanya sulit untuk diraih. Untuk tetap bertahan saja sudah sesulit itu , tetapi ternyata untuk berhenti pun tak kalah menyulitkan . Aku sempat tak habis pikir oleh kesadaran akan satu hal pahit itu. Kita diciptakan sebagai makhluk bumi yang katanya sempurna jika dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Tapi yang menjadi bahan pertanyaanku adalah kalau memang manusia itu makhluk paling sempurna, kenapa manusia menjadi makhluk paling tidak berdaya dika dihadapkan pada kondisi yang tak diharapkan? Kalau memang manusia itu makhluk paling sempurna, k