Langsung ke konten utama

Catastrophe

 


Prolog

Suatu hari, Kehancuran datang mengetuk pintu depan rumahku.

“Halo,” sapa seorang lelaki yang berpakaian serba hitam dengan kepala menyembul dari balik pintu yang kubuka sedikit.

Aku menatapnya heran sembari membuka suara, “Kamu siapa?”

Lelaki itu melangkah selangkah lebih dekat dan berdiri dengan jelas di hadapanku. Dia mengulas senyum yang terlihat lumayan manis di mataku.

“Kehancuran,” jawabnya yang masih mengukir senyum sembari menatapku dalam.

Dunia seolah berhenti saat itu juga, hanya Kehancuran dan aku yang bisa bergerak. Kehancuran yang berdiri di seberang perlahan berjalan ke arahku seolah-olah dia sedang berjalan-jalan. Sementara aku menatapnya seolah-olah telah tersihir. Aku terjatuh dan dia mengulurkan tangannya.

“Pilihlah,” ucapnya. “Kamu akan mati di sini sekarang atau kamu akan menerima uluran tanganku.”

Aku hanya duduk di sana dan menatap matanya. Mata yang tajam, tetapi terkesan tanpa emosi. Apa tanganmu ini adalah jawaban yang sudah lama kutunggu dari ribuan pertanyaanku? bisikku saat itu. Tanganku gemetar saat memegang tangannya dan dia menunjukkan senyum puas.

Seperti itulah aku menerima uluran tangan Kehancuran.

***

“Kenapa kamu tidak memberitahuku sebelumnya?” keluh seorang pemuda bertopi putih yang menoleh ke arahku sembari membuka lembar demi lembar buku komik yang sedari tadi ada di tangannya. “Presdirmu bermata besar, berkulit putih pucat, dan sangat tinggi.”

Aku hanya menatapnya sekilas kemudian kembali fokus pada map cokelat yang hendak kukeluarkan dari dalam tasku.

“Kupikir dia ingin bertemu denganku untuk menghisap darahku,” lanjut pemuda itu yang kini kembali menatap ke arah buku komiknya.

Aku tersenyum kecil kemudian tanganku dengan cekatan mengeluarkan selembar kertas yang mengisi map cokelat dan menyerahkannya kepada pemuda yang duduk di depanku yang masih sibuk dengan ocehannya terkait presdir di tempat kerjaku.

“Dia memang akan menghisap darahmu sampai kering,” ucapku yang sontak saja membuat pemuda itu menoleh ke arahku dengan raut wajah terkejut.

“Apa?”

Aku mengatur raut wajahku seolah sedang membicarakan hal yang amat penting dan serius. “Dia sungguh melakukannya. Dia akan menghisap darahmu sampai kering.”

Pemuda itu lantas mengkerut di tempat, entah karena dia memang memercayai perkataanku atau kemungkinan bahwa dirinya sadar telah dibohongi. Dia menutup buku komiknya, menaruhnya di atas meja lalu mengubah posisi duduknya menghadap ke arahku.

“Aku tidak akan menandatangani kontrak ini,” ucapnya dengan wajah kusut, menahan tangis. Dia menatapku memelas. “Bagaimana aku bisa menandatangani kontrak setelah mendengar itu?”

Aku menatapnya lamat-lamat. Sebelah alisku sedikit terangkat. “Tidak. Dia akan menghisap darahmu kalau kamu tidak menandatanganinya,” Aku menggelengkan kepalaku pelan, “Dia tidak akan mengganggu orang-orang yang ada di pihaknya.”

Aku menatap kertas yang ada di atas meja kemudian beralih menatapnya yang juga masih menatapku. Kali ini wajahnya sudah seperti orang yang hendak pergi berperang.

Dia menghela napas kemudian mengambil pulpen yang sudah aku siapkan bersama selembar kertas tadi. Tangannya mulai menggoreskan liukan garis yang sudah menjadi ciri khasnya. “Sebagai gantinya, pastikan bahwa tidak ada yang tahu siapa aku.”

Aku menghela napas lega begitu melihat tanda tangan dan namanya di sana. “Tentu saja,” jawabku yang dalam suasana hati bahagia. Secepatnya aku kembali menyimpan kertas penting itu ke dalam map cokelat sebelum pemuda itu berubah pikiran.

“Omong-omong, aku membaca novel itu. Kamu tahu alur cerita yang sempat kamu ceritakan waktu itu?” Dia menatapku penuh antusias. “Kalau kamu memilih orang yang kamu cintai, dunia akan berakhir.”

Aku sedikit tersentak mendengarnya. Namun, itu bukan apa-apa. Aku kembali fokus mendengarkan perkataannya.

“Kalau kamu memilih melindungi dunia, orang yang kamu cintai harus mati,” lanjutnya.

Aku tertawa kecil.

“Apa, ya, namanya? Aku lupa.” Dia menggelengkan kepala setelah beberapa saat mencoba mengingat-ingat. “Itu cerita kehancuran yang kamu bilang waktu itu, kan? Apa kamu dekat dengan penulisnya?” Dia menatapku lekat.

Aku terkejut atas ekspresinya selama bercerita mengenai novel itu. Kedua mataku beralih memandang objek lain selain sosok pemuda di depanku ini. Dengan gugup, aku menjawab, “Kenapa kamu bertanya?”

“Karena aku sudah tahu ini akan berakhir menyedihkan. Aku ingin akhir yang bahagia,” jawabnya yang membuatku kembali mengarahkan pandangan padanya.

Aku termenung.

“Bisa tanyakan ke si penulis apakah akhirnya sedih atau bahagia?” tanyanya.

Seketika aku kembali menatapnya ingin tahu.

“Aku mudah menangis. Aku tidak bisa membacanya kalau berakhir sedih,” lanjutnya dengan wajah yang murung.

Dia mendongak dan menghela napas pendek. “Kalau akan menjadi kisah yang sedih seharusnya aku tidak membacanya.”

Aku terdiam, tidak tahu harus membalas seperti apa.

“Kamu tidak dekat dengan penulisnya?” tanyanya yang terlihat sangat penasaran, tetapi sekejap kemudian berubah biasa saja. “Kalau tidak, lupakan saja.”

Setelah pertemuanku dengan pemuda bertopi putih itu, aku memilih berjalan perlahan menyusuri pinggir jalan yang lengang karena sepertinya orang-orang sedang tidak berminat untuk menyiksa diri sendiri dengan berjalan di saat matahari sedang berada tepat sejengkal di atas kepala. Bukan. Aku juga tidak bermaksud untuk menyiksa diriku sendiri. Aku hanya sedang ingin menikmati waktu yang kupunya saat ini dengan memandangi langit cerah yang berwarna biru, pepohonan yang daunnya mulai menguning, sinar matahari yang begitu hangat ketika menyentuh permukaan kulitku. Semua itu terasa begitu menenangkan. Seolah-olah mengurangi satu penyesalanku di masa depan.

“Jadi, hiduplah.”

Sebuah suara yang pernah kudengar waktu itu mengalun di dalam kepalaku. Aku berhenti melangkah. Kepalaku mendongak, membiarkan sinar matahari membakar kulit wajahku kemudian kedua mataku perlahan terpejam.

“Saat menjalani kehidupan, kamu akan sadar suatu hari nanti. Bahwa akan selalu ada alasan di balik semua yang kamu lalui. Kamu akan tahu bahwa itu bukanlah akhir yang buruk.”

Aku menunduk dan membuka kedua mataku. Tatapanku tak terarah pada apa pun, seolah mengambang karena terlalu asyik dengan pikiran sendiri.

Aku masih tidak tahu akhir seperti apa yang menungguku. Aku hanya membayangkan diriku bergandengan tangan denganmu dan kamu memelukku erat. Dunia ini masih penuh dengan hal-hal yang akan menghilang. Dunia ini juga penuh denganmu.

Aku menggeleng pelan. Begitu fokusku sudah kembali, aku melanjutkan langkah. Tanganku merogoh sela-sela tas untuk mengambil ponsel pintarku. Layar ponsel yang menyala menunjukkan beberapa pesan dari grup yang entah berisi tentang apa. Aku menggeser layar ke atas untuk membuka kunci kemudian beralih ke kontak dan memulai panggilan.

“Halo, Bibi,” sapaku begitu panggilan telah terhubung. Raut wajahku kembali ceria begitu juga dengan suasana hatiku yang mulai membaik. “Bagaimana kalau kita makan bersama?” tanyaku sambil masih terus berjalan.

“Karena ini perayaanku, aku yang traktir,” ucapku kemudian.

Dari seberang sana, Bibi terkekeh kemudian bertanya, “Apa yang kamu rayakan? Kesembuhan? Mendapat pekerjaan baru?”

Aku menggeleng dan tersenyum meski sadar bahwa Bibi tidak akan melihatnya. “Tidak. Merayakan melalui hari dengan sehat dan hidup semaksimal mungkin. Merayakan seberapa cerah hari ini.”

“Benar. Menyenangkan bisa keluar hari ini. Cucian baju juga kering dengan sangat baik. Rasanya menyenangkan,” jawab Bibi.

“Aku juga! Aku sudah bekerja keras hari ini!” teriak adikku yang ternyata sudah mengambil alih ponsel Bibi.

Aku tertawa kecil.

“Apakah dia juga akan ikut nanti? Aku merindukannya,” tanya adikku yang seketika membuatku terpaku sejenak kemudian menghela tawa yang terasa hambar.

“Apa dia baik-baik saja?” tanya Bibi yang terdengar berada di samping adikku.

“Harusnya dia baik-baik saja, Bi. Aku akan beritahu dia kalau kalian merindukannya,” jawabku. “Ah, kalau gitu sudah dulu ya, Bi. Aku tutup.”

Sisa sore ini sengaja aku luangkan untuk mendatangi rumahnya. Satu-satunya jejak yang masih tertinggal yang menyatakan bahwa dia pernah ada di dunia ini.

Aku memasuki rumah itu. Kondisinya masih seperti saat terakhir dia tinggalkan. Tak ada yang berubah. Juga tidak ada kotoran yang membuat kondisinya buruk seolah ada yang menjaganya agar tetap seperti itu.

Aku melangkah perlahan sembari memandangi sekeliling. Menyimpannya dalam kepala untuk mengobati kerinduan yang kurasa jika kadarnya sudah tak bisa lagi kubendung. Aku berakhir duduk di sofa panjang dengan warna hijau tua yang ada di ruang tamu. Tanganku sekilas meraba permukaan sofa kemudian membuka tasku. Aku mengambil figura yang berisi fotoku dan dia dalam balutan pakaian serba hitam ciri khasnya sekali. Dia yang memandangku begitu dalam dan sarat akan kepemilikan sementara aku yang menatap kamera dengan tawa bahagia.

“Aku tahu kamu tidak mau, tapi cobalah tersenyum,” pintaku sembari menatapnya yang justru menolak tatapanku. Aku beralih menuju kamera dan mulai bersiap mengambil gambar.

“Aku bukan tidak mau melakukannya,” balasnya sembari menoleh padaku, “Tapi apa tujuannya?”

Aku membalas tatapannya seolah tak tahu apa-apa. “Apa?”

“Untuk dilihat dari waktu ke waktu?” tanyanya yang seolah mengetahui dengan benar apa yang sedang kepala kecilku pikirkan.

Aku tersenyum kecil saat kenangan itu melintas. “Ya, untuk dilihat dari waktu ke waktu.”

Aku meletakkan figura di atas meja depan sofa kemudian lagi-lagi aku tersenyum saat memandangnya kembali. Aku meraih ponselku kemudian mengirimkan pesan ke nomornya seperti yang biasa kulakukan.

[Kami semua akan berkumpul makan malam nanti. Semua orang bilang mereka merindukanmu.]

Begitu pesan tersebut terkirim, tiba-tiba aku mendengar bunyi notifikasi yang asalnya selain dari ponselku. Aku menoleh ke berbagai sisi kemudian meraba sisi lain dari sofa dan sebuah ponsel yang familiar berada di bawah bantal dan sedikit tersembunyi di celah sofa. Dengan segera, aku pun meraihnya.

Tampilan walpaper menjadi hal yang pertama kulihat. Foto kami berdua seperti yang ada di figura. Kemudian tanganku beralih ke kolom pesan yang berisi pesan-pesanku selama ini.

[Aku melihatmu dalam mimpiku hari ini.]

[Aku melihatmu dalam mimpiku lagi hari ini.]

[Aku merindukanmu.]

Lalu, ada sebuah pesan yang dia ketik entah kapan dan sepertinya tidak sempat dia kirimkan bahkan hingga saat-saat terakhir itu.

[Aku hanya belum pernah mencobanya. Karena sekarang sudah, aku tahu.]

Aku tertawa tak percaya. Dia benar-benar sesuatu. Aku kembali melanjutkan membaca pesannya.

[Aku memikirkan apa yang harus kukirim pada pesan pertamaku. Kamu bahagia bukan?]

Seketika, dadaku terasa penuh sesak. Tenggorokanku tercekat oleh sesuatu yang tak kuketahui. Kedua mataku yang kupaksa untuk terus menatapi layar ponselnya terasa memanas. Aku kembali memaksa diri untuk meneruskan membaca pesannya yang belum selesai itu.

[Aku yakin begitu.]

Tiba-tiba air mataku jatuh. “Kamu tidak bisa melakukannya. Kamu tidak bisa mengirimkannya.” Setelah mengatakan itu, aku menekan tombol kirim sehingga pesannya berhasil terkirim.

Aku kemudian melangkah menuju kamar yang pernah kami tempati bersama. Kasur yang serba putih itu masih sama. Aku mulai membaringkan diri di atasnya. Terpejam sejenak kemudian aku berniat untuk membalikkan diri hingga menyamping dan sosoknya seketika memenuhi pandanganku.

Dia yang juga tertidur menyamping tersenyum dengan tatapan yang tak pernah lepas dariku. Tanpa kusadari, tanganku terulur hendak menyentuh sisi wajahnya dan saat benar-benar hampir bersentuhan, sosoknya memudar layaknya pasir yang diterbangkan angin. Tanganku berakhir hanya menyentuh udara kosong.

Aku terkekeh miris.

Setelah beberapa saat menikmati kesunyian di tempat yang penuh dengan kenangan itu, aku melangkah keluar kamar. Bersiap-siap untuk kembali ke rumah yang di dalamnya ada keluargaku. Aku meraih tasku kemudian berjalan menuju pintu keluar. Sebelum benar-benar keluar, aku membalikkan badan sembari menatap ke sekeliling dengan penuh perasaan.

“Aku akan kembali,” ucapku tersenyum sendu setelah berhasil melawan rasa tercekat di kerongkongan.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

00: Selamat Tinggal, Langit

     “Dia sudah membuangmu! Kenapa kamu terus setia padanya? Kenapa kamu selalu melakukan hal bodoh?” seru seorang wanita begitu panggilan teleponnya tersambung.      Seorang wanita muda yang usianya kini sudah mencapai kepala dua itu termenung sesaat. Sebelah tangannya masih setia bertengger di sisi telinganya menyangga benda persegi tipis yang sedang mengeluarkan suara seseorang dari seberang sana.      “Karena aku mirip Ibu,” jawab wanita muda itu. Kedua netranya tampak seolah sedang diselimuti kilauan kristal bening.      Dari seberang sana, wanita yang menjadi lawan bicaranya itu terdengar terkejut sekaligus tak terima. “Apa?”      Wanita muda yang bergelar sebagai seorang anak bagi ibunya itu seolah tak terusik. Dia tak merasa apa yang sedang dilakukannya merupakan sebuah kesalahan. Toh , semua yang dia katakan adalah kebenaran yang selama ini dicapai kedua netranya tanpa ada yang mencoba untuk memberikannya penjelasan. Sekedar kalimat penenang bagi hati mungil seorang anak yang

Serpihan 4

Rasanya mau mati aja. Di titik tertentu, aku juga begitu. Menangis tersedu memunguti kembali puing-puing kehancuran diri sendiri satu per satu. Saat itu, saat aku merenungi betapa sakit, hancur, muak, dan bencinya hatiku atas ketidakberdayaan diriku sendiri, yang bisa kulakukan hanyalah menerima sembari terus berjalan maju. Bahkan seberapa sulit pun sebuah kondisi, aku harus tetap hidup dengan " aku bisa mengatasi ini sendiri ". Sebab, di luar sana, iblis pun tahu. Tidak ada pilihan lagi selain itu.

Serpihan 2

  Rasanya mau mati aja. Kalimat itu sudah seperti mantra yang mencuat dari mulutku tanpa kusadari. Entah itu saat aku sedang tak berdaya atau justru baik-baik saja. Berulang kali, tanpa aku sadari seolah sudah tertanam kuat di alam bawah sadarku bahwa sesungguhnya aku benar-benar mengharapkan kematian itu sendiri. Seolah aku dengan sungguh-sungguh berharap untuk terdampar di titik pemberhentian yang sebenarnya. Sebuah pemberhentian yang nyatanya sulit untuk diraih. Untuk tetap bertahan saja sudah sesulit itu , tetapi ternyata untuk berhenti pun tak kalah menyulitkan . Aku sempat tak habis pikir oleh kesadaran akan satu hal pahit itu. Kita diciptakan sebagai makhluk bumi yang katanya sempurna jika dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Tapi yang menjadi bahan pertanyaanku adalah kalau memang manusia itu makhluk paling sempurna, kenapa manusia menjadi makhluk paling tidak berdaya dika dihadapkan pada kondisi yang tak diharapkan? Kalau memang manusia itu makhluk paling sempurna, k