Langsung ke konten utama

Gelegak Afeksi

Dikuat-kuatin katanya. Hah, lucu sekali. Mengingat hal itu saja sudah membuatku kesal setengah mati. 

Memangnya selama ini aku tidak sedang menguatkan diri? Memangnya selama ini aku hanya sibuk mengeluh dan menyalahkan keadaan? Memangnya semua yang kulakukan terlihat seperti aku sedang ingin menyerah? Memangnya hidupku semenyedihkan itu?

Sialan.

Tiap detik yang kurasakan sudah seperti cambuk yang kapan saja siap menghantamku. Tiap partikel udara yang merasuki paru-paru rasanya seperti menghirup jutaan senyawa beracun. Bahkan aliran darah yang mengalir ke seluruh tubuhku laksana bara api yang siap melahapku hingga tak lagi tersisa.

Dan, kau! Tahu apa soal diriku, hah? Memangnya selama ini aku memohon rasa kasihanmu? Kau, si yang paling berempati dan bersimpati. Si paling baik yang menjurus ke naif, menurutku. Yang tak tahu apa-apa perihal diriku, tapi bersikap seolah si paling tahu hanya karena menyaksikan satu sisi burukku. Dengan mudahnya kau melontarkan komentar seolah sedang menyemangatiku. 

Sialan. Kau benar-benar sialan.

Lebih baik kau telan bulat-bulat kalimat penyemangat sialanmu itu. Aku tak membutuhkannya. Tanpa kau semangati pun, aku masih bisa bertahan hingga detik ini. Kalimatmu yang penuh omong kosong itu sama sekali tidak berguna. Bahkan jika suatu saat nanti, akhirku digariskan untuk menyerah pada hidupku, itu bukan berarti aku benar-benar menyerah. Hanya saja, aku tak lagi punya pilihan terbaik selain mengakhiri semuanya.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

00: Selamat Tinggal, Langit

     “Dia sudah membuangmu! Kenapa kamu terus setia padanya? Kenapa kamu selalu melakukan hal bodoh?” seru seorang wanita begitu panggilan teleponnya tersambung.      Seorang wanita muda yang usianya kini sudah mencapai kepala dua itu termenung sesaat. Sebelah tangannya masih setia bertengger di sisi telinganya menyangga benda persegi tipis yang sedang mengeluarkan suara seseorang dari seberang sana.      “Karena aku mirip Ibu,” jawab wanita muda itu. Kedua netranya tampak seolah sedang diselimuti kilauan kristal bening.      Dari seberang sana, wanita yang menjadi lawan bicaranya itu terdengar terkejut sekaligus tak terima. “Apa?”      Wanita muda yang bergelar sebagai seorang anak bagi ibunya itu seolah tak terusik. Dia tak merasa apa yang sedang dilakukannya merupakan sebuah kesalahan. Toh , semua yang dia katakan adalah kebenaran yang selama ini dicapai kedua netranya tanpa ada yang mencoba untuk memberikannya penjelasan. Sekedar kalimat penenang bagi hati mungil seorang anak yang

Serpihan 4

Rasanya mau mati aja. Di titik tertentu, aku juga begitu. Menangis tersedu memunguti kembali puing-puing kehancuran diri sendiri satu per satu. Saat itu, saat aku merenungi betapa sakit, hancur, muak, dan bencinya hatiku atas ketidakberdayaan diriku sendiri, yang bisa kulakukan hanyalah menerima sembari terus berjalan maju. Bahkan seberapa sulit pun sebuah kondisi, aku harus tetap hidup dengan " aku bisa mengatasi ini sendiri ". Sebab, di luar sana, iblis pun tahu. Tidak ada pilihan lagi selain itu.

Serpihan 2

  Rasanya mau mati aja. Kalimat itu sudah seperti mantra yang mencuat dari mulutku tanpa kusadari. Entah itu saat aku sedang tak berdaya atau justru baik-baik saja. Berulang kali, tanpa aku sadari seolah sudah tertanam kuat di alam bawah sadarku bahwa sesungguhnya aku benar-benar mengharapkan kematian itu sendiri. Seolah aku dengan sungguh-sungguh berharap untuk terdampar di titik pemberhentian yang sebenarnya. Sebuah pemberhentian yang nyatanya sulit untuk diraih. Untuk tetap bertahan saja sudah sesulit itu , tetapi ternyata untuk berhenti pun tak kalah menyulitkan . Aku sempat tak habis pikir oleh kesadaran akan satu hal pahit itu. Kita diciptakan sebagai makhluk bumi yang katanya sempurna jika dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Tapi yang menjadi bahan pertanyaanku adalah kalau memang manusia itu makhluk paling sempurna, kenapa manusia menjadi makhluk paling tidak berdaya dika dihadapkan pada kondisi yang tak diharapkan? Kalau memang manusia itu makhluk paling sempurna, k