Dikuat-kuatin katanya. Hah, lucu sekali. Mengingat hal itu saja sudah membuatku kesal setengah mati.
Memangnya selama ini aku tidak sedang menguatkan diri? Memangnya selama ini aku hanya sibuk mengeluh dan menyalahkan keadaan? Memangnya semua yang kulakukan terlihat seperti aku sedang ingin menyerah? Memangnya hidupku semenyedihkan itu?
Sialan.
Tiap detik yang kurasakan sudah seperti cambuk yang kapan saja siap menghantamku. Tiap partikel udara yang merasuki paru-paru rasanya seperti menghirup jutaan senyawa beracun. Bahkan aliran darah yang mengalir ke seluruh tubuhku laksana bara api yang siap melahapku hingga tak lagi tersisa.
Dan, kau! Tahu apa soal diriku, hah? Memangnya selama ini aku memohon rasa kasihanmu? Kau, si yang paling berempati dan bersimpati. Si paling baik yang menjurus ke naif, menurutku. Yang tak tahu apa-apa perihal diriku, tapi bersikap seolah si paling tahu hanya karena menyaksikan satu sisi burukku. Dengan mudahnya kau melontarkan komentar seolah sedang menyemangatiku.
Sialan. Kau benar-benar sialan.
Lebih baik kau telan bulat-bulat kalimat penyemangat sialanmu itu. Aku tak membutuhkannya. Tanpa kau semangati pun, aku masih bisa bertahan hingga detik ini. Kalimatmu yang penuh omong kosong itu sama sekali tidak berguna. Bahkan jika suatu saat nanti, akhirku digariskan untuk menyerah pada hidupku, itu bukan berarti aku benar-benar menyerah. Hanya saja, aku tak lagi punya pilihan terbaik selain mengakhiri semuanya.
Emosi nya kerasa banget
BalasHapus