Langsung ke konten utama

Manusia yang kujadikan rumah

 


Katanya, jangan pernah menjadikan manusia rumah karena sifat manusia itu sendiri mudah sekali berubah-ubah. Tapi, bagiku, ada satu manusia di bumi yang kudefinisikan sebagai rumah yang tak pernah berubah. Manusia yang akan selalu menyambut kepulanganku dengan kehangatannya. Manusia yang tidak pernah melepaskan rengkuhan kasihnya mau bagaimanapun keadaanku. Manusia dengan hati seluas buana. Manusia dengan doa yang lebih tinggi dari langit dan lebih luas dari bumi. Manusia itu adalah Mama.

Teruntuk Mama yang telah melahirkanku.

Maaf karena aku belum bisa mengukir kebahagiaan di wajahmu. Maaf karena aku belum bisa menanam bangga di hatimu. Maaf untuk semua air mata yang kau teteskan karena ulahku. Maaf karena sampai hari ini aku belum bisa menghapus lelah dan beban di tubuhmu. 

Ma, terima kasih untuk semua cinta dan doamu. Please, stay healthy because you're the mediator of my success.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

00: Selamat Tinggal, Langit

     “Dia sudah membuangmu! Kenapa kamu terus setia padanya? Kenapa kamu selalu melakukan hal bodoh?” seru seorang wanita begitu panggilan teleponnya tersambung.      Seorang wanita muda yang usianya kini sudah mencapai kepala dua itu termenung sesaat. Sebelah tangannya masih setia bertengger di sisi telinganya menyangga benda persegi tipis yang sedang mengeluarkan suara seseorang dari seberang sana.      “Karena aku mirip Ibu,” jawab wanita muda itu. Kedua netranya tampak seolah sedang diselimuti kilauan kristal bening.      Dari seberang sana, wanita yang menjadi lawan bicaranya itu terdengar terkejut sekaligus tak terima. “Apa?”      Wanita muda yang bergelar sebagai seorang anak bagi ibunya itu seolah tak terusik. Dia tak merasa apa yang sedang dilakukannya merupakan sebuah kesalahan. Toh , semua yang dia katakan adalah kebenaran yang selama ini dicapai kedua netranya tanpa ada yang mencoba untuk memberikannya penjelasan. Sekedar kalimat penenang bagi hati mungil seorang anak yang

Serpihan 4

Rasanya mau mati aja. Di titik tertentu, aku juga begitu. Menangis tersedu memunguti kembali puing-puing kehancuran diri sendiri satu per satu. Saat itu, saat aku merenungi betapa sakit, hancur, muak, dan bencinya hatiku atas ketidakberdayaan diriku sendiri, yang bisa kulakukan hanyalah menerima sembari terus berjalan maju. Bahkan seberapa sulit pun sebuah kondisi, aku harus tetap hidup dengan " aku bisa mengatasi ini sendiri ". Sebab, di luar sana, iblis pun tahu. Tidak ada pilihan lagi selain itu.

Serpihan 2

  Rasanya mau mati aja. Kalimat itu sudah seperti mantra yang mencuat dari mulutku tanpa kusadari. Entah itu saat aku sedang tak berdaya atau justru baik-baik saja. Berulang kali, tanpa aku sadari seolah sudah tertanam kuat di alam bawah sadarku bahwa sesungguhnya aku benar-benar mengharapkan kematian itu sendiri. Seolah aku dengan sungguh-sungguh berharap untuk terdampar di titik pemberhentian yang sebenarnya. Sebuah pemberhentian yang nyatanya sulit untuk diraih. Untuk tetap bertahan saja sudah sesulit itu , tetapi ternyata untuk berhenti pun tak kalah menyulitkan . Aku sempat tak habis pikir oleh kesadaran akan satu hal pahit itu. Kita diciptakan sebagai makhluk bumi yang katanya sempurna jika dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Tapi yang menjadi bahan pertanyaanku adalah kalau memang manusia itu makhluk paling sempurna, kenapa manusia menjadi makhluk paling tidak berdaya dika dihadapkan pada kondisi yang tak diharapkan? Kalau memang manusia itu makhluk paling sempurna, k