Langsung ke konten utama

Tulisan Paling Kacau

Tidak perlu dibaca. Tulisan ini benar-benar kacau dan minim informasi berguna. Hahaha.

 It's okay to cry for a little while.

We'll just keep trying to find a way out.

In another life, another time, maybe we'll be alright.

Pernah mendengar lirik lagu ini? Yah, itu lagunya Arash Buana yang berjudul We'll be okay, for today. Berulang kali lagu ini diputar bahkan sudah menjadi playlist wajib acapkali aku ingin mendengarkan musik.

Bukan. Aku bukan sedang ingin menangis. Aku hanya ingin mengingatkan diriku sendiri bahwa aku masih manusia. Aku masih memiliki hati. Aku masih memiliki hak sebagai seorang manusia di bumi. Aku ... hah, aku masih hidup. Hahaha. Ini menggelikan saat menyebut diri sendiri masih hidup padahal memang itu kenyataannya.

Oh, maaf. Maksudku bukan perihal apa-apa, hanya saja ini seolah akan menjadi hal yang cukup tidak bisa diterima oleh banyak pihak. Yah, aku hanya bisa menuturkan kata maaf yang tanpa kusadari terus menerus berulang dalam kepala hingga akhirnya aku sendiri tak lagi sanggup bertutur kata lain selain dari maaf entah itu memang untuk kesalahan yang kuperbuat atau justru orang lain yang berulah dan aku menjadi kambing hitam.

Tidak, tidak. Sampai sini saja aku menulis kata per kata yang tak lagi memiliki makna

Hah, bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Rasanya jalanku semakin menyuram seiring aku memaksa untuk berlari. Semuanya seolah memburam seiring aku memaksa untuk ingat. Apa-apa yang bersuara di dalam kepala seolah menjelma menjadi sesuatu yang tak kalah seramnya ketimbang hidup itu sendiri.

Katanya, masalah itu sudah seperti matematika yang memiliki banyak cara untuk mendapatkan hasil yang sama. Lalu, kenapa hingga kini masalahku tak kunjung menemukan jalan untuk mencapai hasil yang kuinginkan?

Tahu nggak? Katanya, tidak semua anak memiliki tempat pulang bahkan di rumahnya sendiri. Ada anak yang hidup dari kecil dengan tidak pernah menceritakan masalahnya ke orang tuanya sedikit pun sebab dirinya tahu betul bahwa orang tuanya tidak akan pernah bisa menerima apa yang dia ceritakan.

Aku pikir itu tidaklah salah. Aku sendiri juga tidak begitu yakin kenapa tidak pernah mengungkapkan isi hati ke orang lain terkhusus orang tua. Aku pernah cerita. Beberapa kali, tapi itu bukan sesuatu yang kupikir tidak bisa untuk kubagi dengan yang lain. Itu bukan sesuatu yang masuk ke ranah privasi. Yah, pikirku begitu. Dan, itu menjadi suatu kebiasaan hingga kini. Makanya, ketika ada orang yang bilang kalau mereka suka berbagi cerita dengan orang tuanya, aku selalu merasa sedikit iri. Tapi, jika kupaksa untuk berlaku seperti itu, aku tidak bisa. Otakku seolah menunjukkan aksi tak setujunya dengan membuat pita suaraku tak berfungsi dan tenggorokannya seolah habis dilanda musim kering. 

Ck, dasar memang kau otak!

Ah, mau tahu contoh suara yang sering muncul di kepala? Saking berisiknya, rasanya aku yang menjadi pemilik kepalanya jadi ingin memenggalnya saja.

Jangan sama aku nanti kamu sakit hati!

Jangan menyukaiku, aku keras kepala!

Aku itu manusia gagal, jadi cari yang lain aja.

Aku pemarah, nanti kamu nyesel.

Aku punya banyak luka.

Aku punya banyak ketakutan.

Aku cuma manusia yang nggak berguna.

Sial, hidupku aja berantakan, gimana mau baik ke yang lain coba?

Aku nggak punya apa-apa yang bisa aku banggain.

Aku nggak cantik.

Jangan buang waktumu cuma buat orang kayak aku!

Dan masih banyak lagi yang lain, yang inginnya semua itu luruh begitu aku lontarkan keluar agar kepalaku tak kepenuhan seperti ini.

Oh iya, ada yang pernah mengajukan pertanyaan padaku seperti ini.

"Bagaimana komunikasimu dengan keluarga?"

Begitu mendengarnya, rasanya aku ingin tertawa terbahak-bahak saat itu juga. Ya, tapi tak kulakukan. Jadi, akhirnya aku menjawabnya seperti ini.

"Sejauh ini, aku sudah terbiasa tumbuh sendirian. Tanpa pundak, juga tanpa hangatnya pelukan."

Demi apa coba, sok banget nggak, sih, jawabanku? Tapi, ya sudahlah. Sudah berlalu. Tidak akan ada yang ingat juga.

Di dunia ini, ada juga hal-hal yang tidak dapat diulang kembali. Kamu pasti tahu itu, kan? Bukan karena kita tidak bisa menerima kenyataan, bukan berarti kenyataan itu tidak nyata. Manusia itu perlu dibuat kecewa terlebih dahulu agar tahu bahagia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

00: Selamat Tinggal, Langit

     “Dia sudah membuangmu! Kenapa kamu terus setia padanya? Kenapa kamu selalu melakukan hal bodoh?” seru seorang wanita begitu panggilan teleponnya tersambung.      Seorang wanita muda yang usianya kini sudah mencapai kepala dua itu termenung sesaat. Sebelah tangannya masih setia bertengger di sisi telinganya menyangga benda persegi tipis yang sedang mengeluarkan suara seseorang dari seberang sana.      “Karena aku mirip Ibu,” jawab wanita muda itu. Kedua netranya tampak seolah sedang diselimuti kilauan kristal bening.      Dari seberang sana, wanita yang menjadi lawan bicaranya itu terdengar terkejut sekaligus tak terima. “Apa?”      Wanita muda yang bergelar sebagai seorang anak bagi ibunya itu seolah tak terusik. Dia tak merasa apa yang sedang dilakukannya merupakan sebuah kesalahan. Toh , semua yang dia katakan adalah kebenaran yang selama ini dicapai kedua netranya tanpa ada yang mencoba untuk memberikannya penjelasan. Sekedar kalimat penenang bagi hati mungil seorang anak yang

Serpihan 4

Rasanya mau mati aja. Di titik tertentu, aku juga begitu. Menangis tersedu memunguti kembali puing-puing kehancuran diri sendiri satu per satu. Saat itu, saat aku merenungi betapa sakit, hancur, muak, dan bencinya hatiku atas ketidakberdayaan diriku sendiri, yang bisa kulakukan hanyalah menerima sembari terus berjalan maju. Bahkan seberapa sulit pun sebuah kondisi, aku harus tetap hidup dengan " aku bisa mengatasi ini sendiri ". Sebab, di luar sana, iblis pun tahu. Tidak ada pilihan lagi selain itu.

Serpihan 2

  Rasanya mau mati aja. Kalimat itu sudah seperti mantra yang mencuat dari mulutku tanpa kusadari. Entah itu saat aku sedang tak berdaya atau justru baik-baik saja. Berulang kali, tanpa aku sadari seolah sudah tertanam kuat di alam bawah sadarku bahwa sesungguhnya aku benar-benar mengharapkan kematian itu sendiri. Seolah aku dengan sungguh-sungguh berharap untuk terdampar di titik pemberhentian yang sebenarnya. Sebuah pemberhentian yang nyatanya sulit untuk diraih. Untuk tetap bertahan saja sudah sesulit itu , tetapi ternyata untuk berhenti pun tak kalah menyulitkan . Aku sempat tak habis pikir oleh kesadaran akan satu hal pahit itu. Kita diciptakan sebagai makhluk bumi yang katanya sempurna jika dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Tapi yang menjadi bahan pertanyaanku adalah kalau memang manusia itu makhluk paling sempurna, kenapa manusia menjadi makhluk paling tidak berdaya dika dihadapkan pada kondisi yang tak diharapkan? Kalau memang manusia itu makhluk paling sempurna, k