Langsung ke konten utama

Postingan

Gelegak Afeksi

Dikuat-kuatin katanya. Hah, lucu sekali. Mengingat hal itu saja sudah membuatku kesal setengah mati.  Memangnya selama ini aku tidak sedang menguatkan diri? Memangnya selama ini aku hanya sibuk mengeluh dan menyalahkan keadaan? Memangnya semua yang kulakukan terlihat seperti aku sedang ingin menyerah? Memangnya hidupku semenyedihkan itu? Sialan. Tiap detik yang kurasakan sudah seperti cambuk yang kapan saja siap menghantamku. Tiap partikel udara yang merasuki paru-paru rasanya seperti menghirup jutaan senyawa beracun. Bahkan aliran darah yang mengalir ke seluruh tubuhku laksana bara api yang siap melahapku hingga tak lagi tersisa. Dan, kau! Tahu apa soal diriku, hah? Memangnya selama ini aku memohon rasa kasihanmu? Kau, si yang paling berempati dan bersimpati. Si paling baik yang menjurus ke naif, menurutku. Yang tak tahu apa-apa perihal diriku, tapi bersikap seolah si paling tahu hanya karena menyaksikan satu sisi burukku. Dengan mudahnya kau melontarkan komentar seolah sedang menyema

Manusia yang kujadikan rumah

  Katanya, jangan pernah menjadikan manusia rumah karena sifat manusia itu sendiri mudah sekali berubah-ubah. Tapi, bagiku, ada satu manusia di bumi yang kudefinisikan sebagai rumah yang tak pernah berubah. Manusia yang akan selalu menyambut kepulanganku dengan kehangatannya. Manusia yang tidak pernah melepaskan rengkuhan kasihnya mau bagaimanapun keadaanku. Manusia dengan hati seluas buana. Manusia dengan doa yang lebih tinggi dari langit dan lebih luas dari bumi. Manusia itu adalah Mama . Teruntuk Mama yang telah melahirkanku. Maaf karena aku belum bisa mengukir kebahagiaan di wajahmu. Maaf karena aku belum bisa menanam bangga di hatimu. Maaf untuk semua air mata yang kau teteskan karena ulahku. Maaf karena sampai hari ini aku belum bisa menghapus lelah dan beban di tubuhmu.  Ma, terima kasih untuk semua cinta dan doamu. Please, stay healthy because you're the mediator of my success.

Catastrophe

  Prolog Suatu hari, Kehancuran datang mengetuk pintu depan rumahku. “Halo,” sapa seorang lelaki yang berpakaian serba hitam dengan kepala menyembul dari balik pintu yang kubuka sedikit. Aku menatapnya heran sembari membuka suara, “Kamu siapa?” Lelaki itu melangkah selangkah lebih dekat dan berdiri dengan jelas di hadapanku. Dia mengulas senyum yang terlihat lumayan manis di mataku. “Kehancuran,” jawabnya yang masih mengukir senyum sembari menatapku dalam. Dunia seolah berhenti saat itu juga, hanya Kehancuran dan aku yang bisa bergerak. Kehancuran yang berdiri di seberang perlahan berjalan ke arahku seolah-olah dia sedang berjalan-jalan. Sementara aku menatapnya seolah-olah telah tersihir. Aku terjatuh dan dia mengulurkan tangannya. “Pilihlah,” ucapnya. “Kamu akan mati di sini sekarang atau kamu akan menerima uluran tanganku.” Aku hanya duduk di sana dan menatap matanya. Mata yang tajam, tetapi terkesan tanpa emosi. Apa tanganmu ini adalah jawaban yang sudah lama k

Aku (masih) manusia, kan?

Lagi-lagi perasaanku kacau. Pikiranku penuh dengan hal-hal yang tidak aku sukai. Ini menyebalkan. Rasanya seolah ada yang mengendalikan itu semua. Seolah aku kehilangan kendali untuk sementara waktu. Padahal awalnya aku membuka akun media sosialku hanya untuk mencari hiburan, tapi justru berakhir seperti ini. Dadaku penuh sesak. Seolah ada beban baru yang menimpanya. Aku ingin menangis, meraung marah, berteriak sekencang mungkin hingga hanya legalah yang dapat kurasakan.  Kenapa? Kenapa harus aku? Memangnya cuma aku yang semenyedihkan ini? Memangnya mereka, orang-orang di luar sana juga selalu meraih apa yang mereka mau, apa yang mereka impikan?  Tidak, kan? Tapi, kenapa aku seperti ini? Kenapa semua yang terlihat oleh kedua netraku begitu berhasil menusuk relung hatiku? Kenapa perasaanku menjadi begitu kacau setelah menontonnya? Kenapa kedua mataku memanas begitu mendengar segala macam kebahagiaan di hidup mereka? Aku juga ingin. Aku juga mau seperti  mereka. Kata siapa aku sudah cuku

Sakitmu Dan Sihir Semesta

Sudah berulang kali aku menulis perihal aku . Ada banyak hal/topik yang kubahas, mulai dari keluhan-keluhan yang awalnya hanya berdiam di dalam kepala hingga bahasan perihal sebuah kenangan yang sulit untuk dilupakan.  Dari semua itu, aku menyadari satu hal yang belum pernah aku bahas. Kali ini bukan tentang aku . Ini perihal apa-apa yang membuatmu sakit . Memang tidak akan pernah menjadi mudah untuk terlihat baik sepanjang waktu. Beberapa hari kamu akan merasa tidak ingin melakukan apa pun. Kamu ingin menyerah pada segalanya. Kamu merasa seperti kamu tidak memiliki apa-apa lagi untuk tetap hidup. Tidak ada lagi alasan yang menguatkanmu untuk terus bertahan. Bahkan udara seolah semakin meracuni paru-parumu tiap kali kamu bernapas. Kamu merasa bahwa usahamu selama ini hanyalah kesia-siaan belaka. Predikat gagal, cacat, sial, dan masih banyak lagi itu terus menyerang isi kepalamu yang sudah penuh hingga terasa semakin penuh sesak. Seandainya bisa, kamu ingin melepaskan kepalamu dan mena

A Letter For Sister

Hai, Sister... Gimana nih kabarnya? Udah lama banget nggak sih kita LDR-an. Bahasanya LDR-an, macam kamu dengan dia aja, hahaha.... Selamat menjalani fase di mana kamu nggak akan menemukan orang yang mau membantumu menjalani hidup. Selamat menemui fase di mana kamu nggak lagi bisa menemui siapa pun yang menginginkanmu melainkan hanya untuk meminta bantuan saja. Bukan bermaksud untuk menakut-nakuti, hanya saja memang begitulah kenyataannya. Semakin dewasa, hidup dibuat semakin berwarna-warni oleh banyaknya masalah. Semakin dibuat kacau oleh beban pikiran yang kian hari kian memberat dan carut marut.  Memperbanyak pikiran-pikiran positif dan memotivasi diri sendiri nyatanya tak berlaku sama sekali. Justru semakin lama akan terasa memuakkan bahkan ketika sedang membicarakan persoalan dunia. Tentang hal-hal yang sifatnya sementara. Seolah berniat bertukar pikiran dan beradu argumen, tapi nyatanya bertopengkan niat menyombongkan apa yang dirinya dapatkan. Entahlah. Mungkin untuk sekarang,

Perkara Aku Yang Tak Seperti Mereka

Pernah nggak sih ngalamin di mana kita lebih milih buat berdiam diri di rumah daripada harus ikut acara keluarga atau ngumpul sama temen? Alih-alih join di ruangan yang isinya penuh sama orang, aku lebih milih buat stay di kamar. Bukan tanpa alasan, tapi seperti itulah pemikiranku sekarang setelah kejadian itu. Semua berawal dari rencana homestay in Andalucia Lodge & Brunch Bandung . Siapa yang tahu hal itu justru akan menjadi titik balik dari keseluruhan kehidupan pertemananku. Sepertinya memang benar bahwa ada yang salah pada diriku. Selama ini aku nggak begitu mempermalahkan dan menganggap bahwa semua itu baik-baik saja. Aku nggak baik-baik saja dan nggak ada yang tahu hal itu kecuali diriku sendiri tentunya. Mereka termasuk dia justru menganggapku orang yang parah, aneh, nggak peka, jahat, dan berbagai hal lainnya yang menjurus pada konotasi yang nggak menyenangkan untuk didengar. Aku nggak berminat untuk mengatakan hal ini pada siapa pun atau mencoba mencari validasi dari s

Jeda

Hanya ada satu apartemen di setiap lantai sehingga ketika lift sampai di lantai enam dan terbuka, aku langsung dihadapkan pada pintu utama yang bernomor 6049. Pintu dua sisi berwarna hitam itu tertutup rapat. Begitu aku hendak mendekat, suara langkah kaki dari dalam sana membuatku kehilangan keberanian. Aku langsung bersembunyi di lorong darurat sebelah lift. Aku tidak bisa melihat apa yang terjadi di sana, hanya bisa mendengar suara sepatu yang melangkah kemudian pintu terbuka. Aku pikir itu suara langkah kaki satu orang hingga beberapa detik setelahnya aku kembali mendengar suara langkah kaki lainnya. "Reza!" Suara seorang wanita yang memanggil nama Reza dengan lembut. Aku ... terkejut. Reza? Benarkah? Bukankah harusnya dia masih ada di luar kota? Kenapa bisa ada di sana? Bukannya dia bilang lusa baru kembali? "Apakah ada yang lain?" Suara Reza terdengar dingin di telingaku. "Aku akan menepati janjiku. Jangan khawatir. Aku nggak akan muncul lagi di depan Ara.

Hari Yang Normal

Hari ini lagi-lagi berlalu seperti biasa. Mulai dari bangun tidur, mandi, berangkat ke kampus, pulang ke kostan. Tidak ada yang spesial, yang membuat otak lemotku mau menyisakan ruang untuk menyimpan kenangan baru. Yah, semuanya berjalan dengan normal. Senormal itu hingga tak terasa apa-apa. Hambar. Kosong. Membicarakan perihal normal , seketika di sudut kepalaku muncul pertanyaan yang sampai aku menuliskannya, aku masih belum tahu jawabannya.  "Sebenarnya, apa itu normal? Apa karena itu sudah menjadi bagian dari keseharian menjadikannya normal? Memangnya kalau berbeda itu artinya tidak normal?"  Gila memang diriku. Senang sekali menyiksa diri sendiri dengan berbagai macam pertanyaan yang tidak diketahui jawabannya. Senang sekali membuat kepala penuh sesak dengan berbagai hal yang selalu berakhir dengan tanda tanya. Senang sekali mencari-cari permasalahan yang sebenarnya itu bukanlah hal yang patut dipermasalahkan. Sungguh melelahkan hidup sebagai aku. Namun, satu hal yang la